BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 07 Desember 2008

Sigli, Suatu Ketika

apakah perlu kutulis semuanya
keterharuan membaca bibir langit menjeritkan
sejumlah luka
air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk
menina-bobokanmu dalam jaman ini
apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit
hari-hari tetap saja kegelapan
hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain

kita belajar menulis dan membaca
untuk memahami makna dari segala keperihan
jam kerja dan kesibukan kita tulis
dengan pesona air mata, dengan kesabaran yang kita eja

ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan
aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan
tiap hari harus kita tempuh
sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap
berakhir dengan kekosongan
maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini.

18 Agustus 1996.

Satire Cinta

penjara jadi sangat akrab saat terpahami
membentuk butiran embun dan tarian rumput
kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi
semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang
dan kebun terserang hama

kita bernyanyi di hotel-hotel
anak-anak menangis di kakinya
jalanan menjelma pentas besar pertunjukan
kita memilin urat bumi dan cerita esok pagi
untuk sepiring makanan
yang bakal kita kafankan malam nanti

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Sebelum Kau, Sebelum Aku

sebelum kau, aku telah siap dulu
menggali kubur untukmu
bagi air mata yang kita sengketakan

sebelum rindu, aku telah siap-siap
pamit
untuk perjalanan lain yang sangat panjang

sebelum kau sebelum rindu
aku telah siapkan sebuah pesan
tentang keberangkatan itu

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Sebelum Kau, Sebelum Aku

sebelum kau, aku telah siap dulu
menggali kubur untukmu
bagi air mata yang kita sengketakan

sebelum rindu, aku telah siap-siap
pamit
untuk perjalanan lain yang sangat panjang

sebelum kau sebelum rindu
aku telah siapkan sebuah pesan
tentang keberangkatan itu

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Tarian Cermin

mari menatap dalam gigil malam
pertengkaran terus berlangsung
kita terperosok dalam kekalahan
telanjang dan saling menatap
saling mentertawakan

tubuh kita belepotan
meniupkan wangi embun
berputar hebat menembus kabut
kita sunyi alam lingkaran musim
seperti bocah-bocah malu-malu
menatap wajah di depan cermin

kita tunda berangkat sementara
masuk kembali, menari tanpa berhenti
kita tunda bunuh diri

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Alue Naga

Di jembatan Lamnyong kulihat matahari sudah condong ke barat
kau masih saja berpura-pura. Bermain dengan mimpi bagus
yang ditiupkan negeri jauh

serangan demi serangan tak mungkin dielakkan
kita mesti bertahan
pada rumah yang dibangun dengan cinta dan pengorbanan
kuatkan tanganmu pada akar-akar pohon bakau
menghadapi setiap kemungkinan

hadapi ledakan demi ledakan dengan doa dan perjalanan
pada satu terminal akan kita temui sejarah yang tenggelam:
masa silam yang manis. Tanpa luka dan keresahan

Banda Aceh, 28 september 1993

Sabtu, 13 September 2008

Hujan Belum Reda

maafkan aku yang mengirim gerhana ke dalam
arlojimu, sebab hujan tak juga reda dan malam tak
kunjung beranjak

di pucuk pohon, kita menggigil membayangkan
ajal, menyaksikan kota compang-camping,
banyak tubuh rebah, angin bertiup kencang

kita bergayut cemas pada ranting kecil
tanah penuh lumpur, jalanan menjelma kubangan
orang-orang melaju dalam hujan

jadi, maafkan aku yang mengirim kabut
ke dalam mimpimu, sebab angin terus bertiup
dan malam makin gelap.

Depok, 24 April 2006