BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 07 Desember 2008

Memo Sigli (2)

apakah perlu kutuliskan semuanya
keterharuan membaca bibir langit mengucap sejumlah luka
air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk
menina-bobokanmu dalam jaman ini
apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit
hari-hari tetap saja kegelapan
hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain

kita belajar menulis dan membaca
adalah untuk memahami makna dari segala keperihan
tanpa sempat menukilkan kisah senyum sebuah musim pun
dalam agenda yang tiap hari kita bawa
kecuali jam kerja dan kesibukan yang kita tulis
dengan pesona ari mata
dengan sekian kesabaran yang kita eja

ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan
aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan
tiap jam harus kita tempuh
sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap berakhir dengan kekosongan
maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini.

Sigli, 18 agustus 1996.

Suami Istri Luncurkan Bareng Buku Sastra

Suami Istri Luncurkan Bareng Buku Sastra

Sumber: Suara Merdeka, Minggu, 16 Desember 2007

Serang, CyberNews. Pasangan suami-istri penulis sastra, Mustafa Ismail dan Dianing Widya Yudhistira meluncurkan bukunya masing-masing di Perpustakaan Daerah Provinsi Banten, Jalan Saleh Baimin Nomor 6, Serang, Banten, Sabtu (15/12).
Mustafa meluncurkan buku kumpulan puisinya berjudul "Tarian Cermin" (terbitan ASA dan BRR, 2007) dan Dianing Widya meluncurkan novelnya "Perempuan Mencari Tuhan" (terbitan Penerbit Republika, 2007). Acara ini diadakan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banten bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah Provinsi
Banten dan Penerbit Republika.

Acara peluncuran dua buku ini, menurut ketua panitia peluncuran Gito Waluyo, diisi dengan pementasan pembacaan puisi karya Mustafa Ismail "Tarian Cermin" dan pembacaan penggalan novel "Perempuan Mencari Tuhan" oleh kelompok Teater Wajah, Teater Anonimus, Kubah Budaya, penyair Ibnu PS Meganda, dan Saparudin.

Buku "Tarian Cermin" berisikan 100 puisi Mustafa Ismail yang ditulis dalam rentang 10 tahun, yakni 1993-2003. Sebagian besar puisi-puisi itu pernah dimuat di media cetak.

Sementara itu, "Perempuan Mencari Tuhan" adalah novel Dianing yang kedua. Novel ini pernah dimuat secara bersambung di Harian Republika. Novel pertamanya "Sintren" diterbitkan oleh Grasindo (2007) kini masuk lima besar kompetisi Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori prosa.

"Perempuan Mencari Tuhan" bercerita tentang seorang gadis yang dapat melihat peristiwa masa lalu, kini dan masa depan. Kelebihan itu membuatnya tersiksa. Suatu kali, ia tahu bakal terjadi musibah besar di kota itu, tapi orang-orang tak percaya, termasuk para pemimpin. Ketika musibah itu benar-benar terjadi, gadis itu makin tersiksa. Bahkan ia bimbang dan mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Sebelumnya, kedua buku itu telah diluncurkan di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Rabu (12/12) lalu, di sela-sela kegiatan Piasan Sastra Aceh. Acara itu disertai dengan baca karya para pengarang oleh sejumlah sastrawan, mahasiswa, dan akademisi UI, antara lain sastrawan Dato’ Kemala dari Malaysia dan D Kemalawati (Aceh), serta oleh kedua pengarang buku itu.( mh habib shaleh/Cn08 )

Memo Sigli (1)

dalam diammu aku terharu menterjemahkan sejumlah malam
berbaris dalam bahasa dan kenyataan laut
kau melempar aku dalam keheningan terhebat
memandang diri sendiri bercermin matamu
hingga berkali-kali aku minum kehangatan
yang aku sendiri tidak pernah mengerti

ketika kau katakan hari adalah kesunyian
aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan
mencoret-coret puisi tentang diri sendiri
yang kehilangan di sejumlah perjalanan
juga tentang perempuan yang kemarin melukis ombak
lalu kembali ke kegelapan
seperti burung-burung kembali menjelang malam

katamu, laut adalah milik semua orang
kau belum cukup mengukur lautku
katakanlah ada angin bernyanyi
dan kita sepakat untuk pulang; tetapi jalanan
belum juga memberi kabar tentang kedatanganku
yang tiba-tiba
hingga waktu menjadi begitu sulit untuk dibaca
seperti rahasianya hidup kita.

Sigli, 17 Agustus 1996

Tentang Hujan

kotamu mencoret-coret hujan dalam
buku harian yang baru saja kita buka
tanpa kata, tanpa suara
ketika aku terjebak disitu cuma keberanian
yang menolongku
orang-orang berjalan tanpa menoleh dan memberi salam
“jangan tanyakan cinta kepadanya!”
entah suara siapa mengusik
sementara kau di rumah
menonton televisi buat masa depan

11 Desember 1995-10 Nopember 1996

Kenangan Hujan

dalam hujan, aku mencari tepi
menyiapkan beberapa lembar kertas, pena,
meneruskan surat-surat yang belum selesai
kutuliskan
juga mengerjakan PR sekolah, tugas kantor,
dan menulis jadwal berkunjung ke rumahmu
begitulah hari-hariku yang belum kau pahami
mengisi kotak arloji dengan kesibukan
sambil menjinakkan kebosanan

juga mencari kartu pos, menulis namamu
berkali-kali dan membacanya berkali-kali pula
hujan menjadi ilustrasi sunyi
yang harus kuterjemahkan
dalam kemeja yang basah: bahwa demikianlah
suatu saat aku harus berjalan mendapatkanmu
tanpa payung,
tanpa angan-angan manis
yang diam-diam membentuk keinginan dan cita-citamu
terhadap hari-hari kita

Lhokseumawe, 11 Desember 1995

Berlari-lari dalam Hujan

BERLARI-LARI DALAM HUJAN

aku berlari-lari dalam hujan
girang dalam masa kanak-kanak
menembus arca dan jalan asia afrika
menemukan gadis-gadis yang kau ceritakan
atau cerita “Bandung Lautan Api”
di jalan yang menanjak
juga di kemacetan pukul tiga sore
saat aku ingin kembali ke Jakarta
menemukan engkau disana
meski harus menyibak bufet, KFC, tower
dan jalan raya
disitulah aku harus bersabar
membunuh segala kasmaran

saat hujan reda, dan aku berada dalam bus
menuju Jakarta
jalan tol membisikka pencarian: “Dimana-mana yang kau temui
adalah kegelapan
belajarlah untuk mengerti
sambil mendirikan museum dan rumah sakit!”
tapi aku tetap tak mengerti
dimana arca-arca itu, gadis-gadis santun
pulang sekolah
dimana cerita yang pernah kau titip
sebelum aku datang padamu

aku tak butuh bufet, KFC, tower, dan coca-cola
disitu
aku cuma mimpi tentang kehangatan tubuhmu
di tengah udara pagi yang sejuk

Bandung-Jakarta, Desember 1996.

Mengirim Musim

langit ini kukirim untukmu
dalam semangat dingin
bacalah surat-surat terlekat di garis pantai
serta pada kening malam yang pekat
isyarat rumah sakit yang tak bosannya mengunjungi sejarah kita

ketika langit itu kukerat sepotong
aku melihatmu berlari dengan tisu di tangan
ternyata kau mengerti kita telah banyak kehilangan
termasuk wajah dan rumah sendiri
hingga akhirnya kita bermukim di negeri aneh
tak mengenal siapa-siapa
pun tak mengenal diri sendiri
lalu kita dipaksa belajar hidup kembali

Bogor-Bandung, Desember 1996