BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 07 Desember 2008

Memo Sigli (2)

apakah perlu kutuliskan semuanya
keterharuan membaca bibir langit mengucap sejumlah luka
air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk
menina-bobokanmu dalam jaman ini
apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit
hari-hari tetap saja kegelapan
hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain

kita belajar menulis dan membaca
adalah untuk memahami makna dari segala keperihan
tanpa sempat menukilkan kisah senyum sebuah musim pun
dalam agenda yang tiap hari kita bawa
kecuali jam kerja dan kesibukan yang kita tulis
dengan pesona ari mata
dengan sekian kesabaran yang kita eja

ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan
aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan
tiap jam harus kita tempuh
sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap berakhir dengan kekosongan
maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini.

Sigli, 18 agustus 1996.

Suami Istri Luncurkan Bareng Buku Sastra

Suami Istri Luncurkan Bareng Buku Sastra

Sumber: Suara Merdeka, Minggu, 16 Desember 2007

Serang, CyberNews. Pasangan suami-istri penulis sastra, Mustafa Ismail dan Dianing Widya Yudhistira meluncurkan bukunya masing-masing di Perpustakaan Daerah Provinsi Banten, Jalan Saleh Baimin Nomor 6, Serang, Banten, Sabtu (15/12).
Mustafa meluncurkan buku kumpulan puisinya berjudul "Tarian Cermin" (terbitan ASA dan BRR, 2007) dan Dianing Widya meluncurkan novelnya "Perempuan Mencari Tuhan" (terbitan Penerbit Republika, 2007). Acara ini diadakan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banten bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah Provinsi
Banten dan Penerbit Republika.

Acara peluncuran dua buku ini, menurut ketua panitia peluncuran Gito Waluyo, diisi dengan pementasan pembacaan puisi karya Mustafa Ismail "Tarian Cermin" dan pembacaan penggalan novel "Perempuan Mencari Tuhan" oleh kelompok Teater Wajah, Teater Anonimus, Kubah Budaya, penyair Ibnu PS Meganda, dan Saparudin.

Buku "Tarian Cermin" berisikan 100 puisi Mustafa Ismail yang ditulis dalam rentang 10 tahun, yakni 1993-2003. Sebagian besar puisi-puisi itu pernah dimuat di media cetak.

Sementara itu, "Perempuan Mencari Tuhan" adalah novel Dianing yang kedua. Novel ini pernah dimuat secara bersambung di Harian Republika. Novel pertamanya "Sintren" diterbitkan oleh Grasindo (2007) kini masuk lima besar kompetisi Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori prosa.

"Perempuan Mencari Tuhan" bercerita tentang seorang gadis yang dapat melihat peristiwa masa lalu, kini dan masa depan. Kelebihan itu membuatnya tersiksa. Suatu kali, ia tahu bakal terjadi musibah besar di kota itu, tapi orang-orang tak percaya, termasuk para pemimpin. Ketika musibah itu benar-benar terjadi, gadis itu makin tersiksa. Bahkan ia bimbang dan mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Sebelumnya, kedua buku itu telah diluncurkan di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Rabu (12/12) lalu, di sela-sela kegiatan Piasan Sastra Aceh. Acara itu disertai dengan baca karya para pengarang oleh sejumlah sastrawan, mahasiswa, dan akademisi UI, antara lain sastrawan Dato’ Kemala dari Malaysia dan D Kemalawati (Aceh), serta oleh kedua pengarang buku itu.( mh habib shaleh/Cn08 )

Memo Sigli (1)

dalam diammu aku terharu menterjemahkan sejumlah malam
berbaris dalam bahasa dan kenyataan laut
kau melempar aku dalam keheningan terhebat
memandang diri sendiri bercermin matamu
hingga berkali-kali aku minum kehangatan
yang aku sendiri tidak pernah mengerti

ketika kau katakan hari adalah kesunyian
aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan
mencoret-coret puisi tentang diri sendiri
yang kehilangan di sejumlah perjalanan
juga tentang perempuan yang kemarin melukis ombak
lalu kembali ke kegelapan
seperti burung-burung kembali menjelang malam

katamu, laut adalah milik semua orang
kau belum cukup mengukur lautku
katakanlah ada angin bernyanyi
dan kita sepakat untuk pulang; tetapi jalanan
belum juga memberi kabar tentang kedatanganku
yang tiba-tiba
hingga waktu menjadi begitu sulit untuk dibaca
seperti rahasianya hidup kita.

Sigli, 17 Agustus 1996

Tentang Hujan

kotamu mencoret-coret hujan dalam
buku harian yang baru saja kita buka
tanpa kata, tanpa suara
ketika aku terjebak disitu cuma keberanian
yang menolongku
orang-orang berjalan tanpa menoleh dan memberi salam
“jangan tanyakan cinta kepadanya!”
entah suara siapa mengusik
sementara kau di rumah
menonton televisi buat masa depan

11 Desember 1995-10 Nopember 1996

Kenangan Hujan

dalam hujan, aku mencari tepi
menyiapkan beberapa lembar kertas, pena,
meneruskan surat-surat yang belum selesai
kutuliskan
juga mengerjakan PR sekolah, tugas kantor,
dan menulis jadwal berkunjung ke rumahmu
begitulah hari-hariku yang belum kau pahami
mengisi kotak arloji dengan kesibukan
sambil menjinakkan kebosanan

juga mencari kartu pos, menulis namamu
berkali-kali dan membacanya berkali-kali pula
hujan menjadi ilustrasi sunyi
yang harus kuterjemahkan
dalam kemeja yang basah: bahwa demikianlah
suatu saat aku harus berjalan mendapatkanmu
tanpa payung,
tanpa angan-angan manis
yang diam-diam membentuk keinginan dan cita-citamu
terhadap hari-hari kita

Lhokseumawe, 11 Desember 1995

Berlari-lari dalam Hujan

BERLARI-LARI DALAM HUJAN

aku berlari-lari dalam hujan
girang dalam masa kanak-kanak
menembus arca dan jalan asia afrika
menemukan gadis-gadis yang kau ceritakan
atau cerita “Bandung Lautan Api”
di jalan yang menanjak
juga di kemacetan pukul tiga sore
saat aku ingin kembali ke Jakarta
menemukan engkau disana
meski harus menyibak bufet, KFC, tower
dan jalan raya
disitulah aku harus bersabar
membunuh segala kasmaran

saat hujan reda, dan aku berada dalam bus
menuju Jakarta
jalan tol membisikka pencarian: “Dimana-mana yang kau temui
adalah kegelapan
belajarlah untuk mengerti
sambil mendirikan museum dan rumah sakit!”
tapi aku tetap tak mengerti
dimana arca-arca itu, gadis-gadis santun
pulang sekolah
dimana cerita yang pernah kau titip
sebelum aku datang padamu

aku tak butuh bufet, KFC, tower, dan coca-cola
disitu
aku cuma mimpi tentang kehangatan tubuhmu
di tengah udara pagi yang sejuk

Bandung-Jakarta, Desember 1996.

Mengirim Musim

langit ini kukirim untukmu
dalam semangat dingin
bacalah surat-surat terlekat di garis pantai
serta pada kening malam yang pekat
isyarat rumah sakit yang tak bosannya mengunjungi sejarah kita

ketika langit itu kukerat sepotong
aku melihatmu berlari dengan tisu di tangan
ternyata kau mengerti kita telah banyak kehilangan
termasuk wajah dan rumah sendiri
hingga akhirnya kita bermukim di negeri aneh
tak mengenal siapa-siapa
pun tak mengenal diri sendiri
lalu kita dipaksa belajar hidup kembali

Bogor-Bandung, Desember 1996

Cerita di Jalan

di jalan sempat juga kuceritakan kau:
sejarah yang terpotong di tepi musim
kita telah selesaikan satu episode kekonyolan
dengan tangis terbata-bata
karena langit membingkaikan hujan dan memindahkan
ke ladang orang lain
seperti bus bergerak meninggalkan tujuan
lalu kita dipaksa menerima musim yang sakit
meletakkan kembali batu pertama dengan kebingungan terhebat
bumi yang kita pijak menjadi kegelapan
dimana harus kembali memulai sejarah
setelah catatan-catatan purba habis dimusnahkan
berikut cinta dan sebuah penanda perjalanan!

Bandung, 13 Desember 1996

Biografi Perjalanan

aku berbicara denganmu lewat telepon yang diputuskan
kangen menjadi sangat sunyi; kita menjelma kota-kota tanpa bahasa
“aku merindukanmu. Datanglah dengan kehangatan
malam-malam yang pernah kita sketsakan!”

pagi-pagi mengaduh
mengikuti irama ruang tamu yang bergerak keluar
aku menunggumu dari pintu ke pintu
sambil terus saja membuka koran-koran yang menyuguhkan
masakan kesukaanku
sebelum jalan raya memperkenalkan pesta dan
sejarah kota-kota
yang akhirnya memasuki lemari dan rak pakaianmu

ketika cinta kutulis kembali, aku telah
membeku dalam asbak rokok
aku tambah sulit mengenalimu --- apalagi menandai bunga yang kutanam
di tanah lembut sudut bibirmu
malam-malam membentuk kapal-kapal di tengah laut
bergerak dengan nafas satu-satu
tak pernah sampai hingga dermaga runtuh oleh
keterpencilan kita

“aku inginkan perjalanan sesungguhnya!”

Jakarta, 19 Nopember 1996

Ledakan Kota-kota

kota tiba-tiba meledak dalam arlojimu
mengirim kebingungan
sebagai penyair, aku pun mengutip sajak-sajakmu
tanpa sempat menyesalkan banyak hal
atau melukis kota-kota dengan semangat air mata

syukur, aku tak sempat mencatat cerita demi cerita
dari republik terluka
hingga tak ada yang perlu ditunda
tidak ada yang harus terluka

kota yang meledak adalah kehangatan sejarah
melingkar pada musim-musim sunyi
aku menjadi sangat menikmati setiap detak
jantung air mata
juga seluruh suara-suara yang meluncur dari
kedalaman persentuhan kita

tuhan membalut semua cerita itu
dengan kembang-kembang di bibirmu
yang senantiasa kubaca dalam kebugaran cinta.

Jakarta, Nopember 1996

Adakah Kau Seperti Ibuku

tiba-tiba saja kau menjadi ibu yang setiap saat menjagaku
tidur, memperjelas mimpi-mimpiku
dan bunga di kelopak bibirmu mengembang bagai senja yang mengembangkan bulan terindah bagi malam

tapi adakah besok tetap menjadi hari-hari yang lembut
sebagaimana ibu senantiasa menjagaku, mengkuatirkanku bila
terlambat pulang, dan menina bobokan bila aku lelah

adakah sebuah rumah di dalam hatimu yang akan membuatku
selalu tentram, sebagaimana ibu menyambutku dengan hangat
setiap bangun pagi atau pulang dari rantau

adakah sebuah laut di kelopak matamu yang bening
selalu terharu terhadap kesulitan dan kesusahanku

adakah kau seperti ibuku, yang selalu saja gelisah terhadap
hari-hariku
karena cuaca begitu saja berubah, dan waktu bagai gergaji
tiap saat siap memotong tiang-tiang rumah kita.

Batang, 25 Juli 1997.

Prosa Kasmaran

aku telah siap menjadi arloji bagimu yang siap mengingatkan
jam kerja dan waktu pulang kerumah, katamu. Kau pun menyandarkan
hidupmu satu-satunya kepadaku dan aku membalutnya dengan kangen
dan keterharuan yang hebat. Malam, 19 Juli, menuliskan semua itu
pada dingin daun-daun dan riuh jalan yang kita tempuh untuk
membicarakan sebuah sejarah yang panjang: Saat semua suara seperti
senyap menampung bisikan-bisikan halus yang keluar dari pembicaraan kita

aku telah siap menjadi penyejuk di rumah kita, seperti angin dan embun yang selalu melahirkan pagi, begitu katamu.

Jakarta, 15 Agustus 1997.

Kosong

kadang kita harus selalu ingat, jalan tidak seperti diperkirakan
maka bersiaplah untuk bersedih, untuk menerima nasib yang dingin
dan segala keinginan membusuk dalam coretan di dinding

begitulah yang kucoba pahami kini: Sebuah kota tiba-tiba saja
meledak dalam genggaman
aku ingin bersedih, sebagaimana juga engkau mungkin,
senantiasa mengharapkan bukit-bukit yang meninggi, bulan yang perak
dan diatasnya kita menari

tarianku kini kosong, tidak ada pentas maupun ruang
dimana harus menumpahkan segala gelinjang keinginan
buat melukiskan sebuah rumah yang manis
sebagaimana pernah kita cita-citakan: Ada sebuah kolam
dan sejumlah anak-anak bermain dengan girangnya
di tepinya kita mencatat waktu sambil tersenyum

tapi selalu saja aku terlempar pada jurang kemarau
hingga membuatku ngeri mengajakmu pergi: Sudah siapkah kau pahami
musim yang datang tiba-tiba seperti sekawanan burung dengan ganas
mematuk hari-hari kita?
Jakarta, 15 Agustus 1997

Sajak Pagi Hari

kalau tiba-tiba nanti kita harus menangis, aku ingin
kau memperdengarkan sebuah tangis yang manis
sehingga rumah kita bukanlah kuburan atau malam yang gelap
tetapi kenyataan yang menggairahkan

seandainya nanti kita harus bertengkar, aku ingin
kita menciptakan pertengkaran yang lembut
sehingga rumah kita bukan kota yang berisik atau bau penggusuran
tetapi hidup yang menentramkan

seandainya nanti kita harus saling diam
karena banyaknya hal yang tak bisa dicapai
aku ingin kita selalu ingat Tuhan.

Jakarta, 15 Agustus 1997.

Membaca Wajah Ibu

disitulah bintang itu, terselip dalam kelopak mata
tetap cerah, tetap indah
dan aku pun larut dalam sinarnya

disitulah laut, mengalirkan hawa dingin
bagi setiap perjalanan
tetap teduh, tetap biru
membuatku selalu kangen dan terpana

disitulah sumur, yang tak pernah lelah
memberi
aku adalah gayung, yang masih tetap
menimbanya

Jakarta, 6 Januari 1998

Menerima Surat (2)

- kepada Dianing

kita menjala langit dengan keyakinan
dengan tanda tanya yang belum sempat kita pecahkan
namun segalanya kita buat jadi roti dan kopi pagi
hingga kita merasa nikmat menyantapnya
tanpa harus tersentak dengan kenyataan-kenyataan pahit

segalanya telah kita siapkan: Air mata, luka,
bahkan kematian
karena dengan begitulah kita terbebas dari prasangka
dan ketakutan-ketakutan
sebab pada gilirannya memang kita harus tunduk
pada sejumlah suratan
setelah pintu-pintu telah tertutup

sekarang kita nikmati saja waktu
tanpa susu, tanpa gula
sebab hidup memang harus dimulai
dari sebuah titik nol
dengan begitulah kita menyadari benar
segala yang bernama perjuangan,
apa yang disebut pengorbanan

kita santap saja hari ini seperti melumat puisi
tanpa perlu memikirkan pulau atau rumah-rumah
yang telah kita rencanakan.

Jakarta, 6 Januari 1998

Menerima Surat (1)

- sajak buat ayah

Ini adalah langit, membentang dalam gigil
siapa tidak gemetar saat panas tidak bisa diatasi
juga dengan kangen yang menumpuk di ubun-ubun
tahun-tahun kita rajut dengan air mata
tanpa sempat menelan makna enaknya kegembiraan

tapi dengan begitulah kita tetap berdiri
pada sisi yang kita yakini
tanpa harus terperosok dalam sejumlah lubang
yang memfatalkan hidup dan kenyatan
kita berdiri pada rumah kita sendiri
tanpa sedikitpun menyentuh halaman orang lain
apalagi merebutnya.

Jakarta, 5 Januari 1998

Sketsa Kemarau (3)

Bila kau memasukiku, pahamilah bukit-bukit yang
meninggi
supaya aku berkesempatan menjelaskan bagaimana sulitnya mendaki
supaya kau tahu bagaimana aku membangun hidup
selalu menghayati ketinggian bukit-bukit itu

karena kenyataan ini adalah kemarau
maka pahamilah ketinggian bukit-bukit
dan angan kanak-kanakku yang menjulang!

Jakarta, Juli 1997.

Pada Sebuah Cafe

dalam diam, aku terjemahkan sajak di keningmu
berbaris bagai lampu-lampu di kotamu, dimana aku menemukan
sebuah alamat yang terkoyak
satu pulau yang seharusnya aku tenggelamkan
setelah sejumlah cinta gugur disitu

kau paksa juga aku meminum kehangatan di bibirmu
tanpa sempat berkata “tidak”
padahal aku ingin sekali pergi dan tak ingin meninggalkan
tarian ombak di cangkir minum kita
karena pada akhirnya segalanya harus dituntaskan
supaya tidak ada air mata yang tergenang

“campurlah alamatmu dalam minum kita
seperti kau menjahit malam-malam yang sakit!”
begitu katamu. Aku tak pernah bisa menolak
hingga kemudian menyadari pagi telah sunyi
dan kita sama-sama kembali
Aku harus mengoyak satu alamat lagi
sambil bergegas pergi

Sigli-Aceh, Agustus 1996.

Prosa Malam

bila kasmaran, keratlah nadimu
temukanlah aku disitu
membawamu kehangatan membara
serta udara bukit yang hijau
tapi jangan sekali-kali memanggilku
karena malam telah larut
tidurlah

Jakarta, Juli 1997

Melepas Mati

setelah semuanya tinggal puing
dan seolah tak ada lagi yang patut dihayati
lupakanlah,
sebagaimana mereka dengan girang melupakan dan
mengubur diri kita

biar saja sejarah membicarakan dirinya sendiri
engkau tidak perlu mengenang
sebagaimana mereka tidak mau sibuk mengurus
kubur-kubur kita

tak perlu ada upacara-upacara itu
tak perlu ada tangis
biarkanlah arloji kita meleleh dan tak perlu menyesali
sebagaimana mereka tak menyesal
melepaskan keberangkatan kita
pergi tak kembali.

Bandung, 13 Desember 1996.

Memo Pagi

Wid, buatkan aku nasi goreng, dua telur dadar, tambah sedikit kopi
tanpa gula
aku ingin bercermin antara enaknya masakanmu dan kopi pahit itu
seperti halnya aku selalu menikmati hari-hari tanpa roti, tanpa bak mandi
di kamarku
dan aku hanya menikmati sajak-sajakmu, ya buat roti juga untuk bak mandi

tapi malam ini aku belum dapat mengirim satu pesan buatmu
masih ada kota yang gelap; membuatku selalu ketakutan untuk memulai
apalagi memintamu menyediakan sepotong selimut,
atau sebaris sajak untuk makan malamku
maka itu, esok pagi, aku belum bisa mintamu membikinkan seporsi nasi goreng buatku.

Jakarta, Juli 1997

Ketika Kau Memakan Daging-dagingku

Dalam senyap gelombang, kau berlari dari jauh
mengamit awan sendiri, tanpa sepotong mataharipun di lenganmu
kau rindukan rumah yang jauh
tetapi kota ini membuatmu haus dan ingin membunuh
lalu kau pun memanahku: Aku tersungkur gairah
menghitung keping bintang di keningmu

Berhari-hari, kau memakan daging-dagingku,
berhari-hari pula aku menghitung diriku hilang perlahan-lahan
siapa pun tak mampu mencegahmu
begitu pun aku terus merasa nikmati disantap dirimu
sampai aku tiba-tiba hilang sama sekali
masuk dalam dirimu: tapi adakah kau catat sejarah itu,
seperti kau merindukan matahari yang gugur di tanganmu,
dan kau menemukan kembali matahari itu dalam dagingku?

Jakarta, 18 Juli 1997.

Orkes Pagi Hari

- episode sebuah rumah

Menulis perjalanan itu, bagai kembali dari sebuah pengasingan
aku menemukan kembali rumah yang hilang sekian abad
juga terminal yang ditinggal pergi
tapi siapa mengerti bahwa kekeringan bakal berlanjut
bumi tetap tak menumbuhkan pohon-pohon
dan keningku sunyi karenanya.

Siapa sebenarnya yang tidak berani mencintai
atau menulis pagi dengan warna berbeda
kenyataanlah yang kerap membuat jalanan terbelah
memunculkan kota-kota gemerlap dan kemudian hilang dalam
ketakutan orang-orang sakit
maka aku mengenalmu: kota-kota itu runtuh membentuk
embun kecil di atas daun

Kini kubiarkan pohon-pohon bertumbuhan dan abadi dalam diriku
lalu aku mencatat sejarah yang lewat; disiram matahari dan malam
membentuk kebahagian-kebahagian kecil
dengan begitulah kau tahu bahwa aku berabad-abad melukiskanmu dengan darah di jemariku, wahai
rumah yang selalu menyelimuti tidur jagaku

Mataku tetap akan meluncurkan matahari
meski pohon-pohon meranting memanggil sebuah musim gugur
saat semua harus dilupakan
dan kebahagianku bertambah satu: bahagia telah mengirim gairah musim padamu.

Jakarta, 16 Juli 1997

Irama Kota

Aku tak pernah mampu bagaimana harus menterjemahkan
irama kotamu
orang-orang berlari dan jalan sendiri
tak sempat saling berbagi cerita
aku pun terperosok dalam pikiran sendiri
kepada siapa resah ini harus kubagi

Hanya sedikit yang bisa kuuraikan
diantara sejumlah cerita yang telah kubaca
bahwa kehadiran dan kepergian adalah bagian
dari sejumlah rahasia kita yang sempat tertunda.

Lhokseumawe - Trg, Agustus 1996.

Mungkin

mungkin kita cuma butuh satu atau dua kata
memastikan perjalanan: dilanjutkan atau ditunda
setelah pesta-pesta itu begitu memabukkanmu
setelah cerita-cerita itu begitu memusingkanku

mungkin kita cuma butuh satu atau dua detik saja
menegaskan hidup kita: kalah atau mengalah
setelah langit menuliskan cerita yang sembraut
setelah laut menenggelamkan tiang-tiang dermaga

mungkin kita cuma butuh secangkir air mata
menandai gairah yang tertunda
setelah bumi terbelah, setelah kota pecah
setelah kita tidak merasa pernah melukis apa-apa.

Agustus 1996.

Sigli, Suatu Ketika

apakah perlu kutulis semuanya
keterharuan membaca bibir langit menjeritkan
sejumlah luka
air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk
menina-bobokanmu dalam jaman ini
apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit
hari-hari tetap saja kegelapan
hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain

kita belajar menulis dan membaca
untuk memahami makna dari segala keperihan
jam kerja dan kesibukan kita tulis
dengan pesona air mata, dengan kesabaran yang kita eja

ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan
aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan
tiap hari harus kita tempuh
sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap
berakhir dengan kekosongan
maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini.

18 Agustus 1996.

Satire Cinta

penjara jadi sangat akrab saat terpahami
membentuk butiran embun dan tarian rumput
kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi
semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang
dan kebun terserang hama

kita bernyanyi di hotel-hotel
anak-anak menangis di kakinya
jalanan menjelma pentas besar pertunjukan
kita memilin urat bumi dan cerita esok pagi
untuk sepiring makanan
yang bakal kita kafankan malam nanti

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Sebelum Kau, Sebelum Aku

sebelum kau, aku telah siap dulu
menggali kubur untukmu
bagi air mata yang kita sengketakan

sebelum rindu, aku telah siap-siap
pamit
untuk perjalanan lain yang sangat panjang

sebelum kau sebelum rindu
aku telah siapkan sebuah pesan
tentang keberangkatan itu

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Sebelum Kau, Sebelum Aku

sebelum kau, aku telah siap dulu
menggali kubur untukmu
bagi air mata yang kita sengketakan

sebelum rindu, aku telah siap-siap
pamit
untuk perjalanan lain yang sangat panjang

sebelum kau sebelum rindu
aku telah siapkan sebuah pesan
tentang keberangkatan itu

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Tarian Cermin

mari menatap dalam gigil malam
pertengkaran terus berlangsung
kita terperosok dalam kekalahan
telanjang dan saling menatap
saling mentertawakan

tubuh kita belepotan
meniupkan wangi embun
berputar hebat menembus kabut
kita sunyi alam lingkaran musim
seperti bocah-bocah malu-malu
menatap wajah di depan cermin

kita tunda berangkat sementara
masuk kembali, menari tanpa berhenti
kita tunda bunuh diri

Banda Aceh, 6 Mei 1996

Alue Naga

Di jembatan Lamnyong kulihat matahari sudah condong ke barat
kau masih saja berpura-pura. Bermain dengan mimpi bagus
yang ditiupkan negeri jauh

serangan demi serangan tak mungkin dielakkan
kita mesti bertahan
pada rumah yang dibangun dengan cinta dan pengorbanan
kuatkan tanganmu pada akar-akar pohon bakau
menghadapi setiap kemungkinan

hadapi ledakan demi ledakan dengan doa dan perjalanan
pada satu terminal akan kita temui sejarah yang tenggelam:
masa silam yang manis. Tanpa luka dan keresahan

Banda Aceh, 28 september 1993

Sabtu, 13 September 2008

Hujan Belum Reda

maafkan aku yang mengirim gerhana ke dalam
arlojimu, sebab hujan tak juga reda dan malam tak
kunjung beranjak

di pucuk pohon, kita menggigil membayangkan
ajal, menyaksikan kota compang-camping,
banyak tubuh rebah, angin bertiup kencang

kita bergayut cemas pada ranting kecil
tanah penuh lumpur, jalanan menjelma kubangan
orang-orang melaju dalam hujan

jadi, maafkan aku yang mengirim kabut
ke dalam mimpimu, sebab angin terus bertiup
dan malam makin gelap.

Depok, 24 April 2006

Mengukur Kesunyian

di setiap tikungan, aku mengukur kesunyian:
makin luas, langit makin buram

inilah perjalanan seribu tahun: berangkat dari
pagi yang jauh, menuju pagi baru
tapi kesunyian demi kesunyian tak terbendung

kita mengutip debu, daun kering,
dan sisa rumput. Matahari mati di mulut-mulut
yang menebar senyum di kotak kaca

inilah perjalanan ke kesunyian: sunyi selebar
kota, seluas kampung
jalanan penuh pohon tua yang tumbang

kita terperosok cemas di tiap tikungan
mengerang di kesendirian

Depok, 24 April 2006

Tugu

aku meninggalkanmu malam itu, seusai kita
berjalan jauh, menekuni kesunyian

dari stasion Tugu, kereta tak lagi berhenti,
menghapus semua jejak, menutup seluruh percakapan

nyanyian menjadi sayup, wajahmu pun senyap
aku hanya bisa mereka-reka pada suatu masa:

masih seperti dulukah bentuk bibirmu
menjahit kata-kata yang sobek

dan matamu yang serupa danau, masih adakah
potret kita di situ

berguling-guling di rumput, melahap sajak yang
belum dihidangkan

aku terus membangun ingatan: sepanjang apakah
rambutmu ketika kau melambaikan tangan

sehabis kita mengulum beberapa biji salak siang itu
kau larut pada satu sudut

meneruskan percakapan yang belum usai
dan perjalanan yang belum sampai

aku harus meninggalkanmu di Tugu malam itu,
bersama peluit kereta yang melengking panjang

lalu sunyi,
sampai air matamu memercik matahari.

Depok, 8 Juni 2006

Senja Siapa

senja siapakah yang kau kirim dalam arlojiku
membuat ruang begitu sempit, halaman menjadi
sepotong kardus

senja siapakah yang kau alirkan dalam darahku
membuat jantungku begitu sering berdebar
setiap menghadapi pagi

senja siapakah yang kau susupkan dalam sepatuku
membuat kakiku kerap gemetar setiap berjalan
dan tubuhku tersungkur di kamar

senja siapakah yang turun bersama hujan
membuatku basah kuyup dan menggigil di jalan

Depok, 7 Juni 2006

Bayangan Sore

aku melihatmu begitu menakutkan: cahaya merah
yang menyepuh jendela, burung-burung berseliweran,
seperti bergegas membawa senja

tiap sore, aku menutup seluruh jendela
agar cahaya merah itu menjauh dan burung-burung
pulang ke tempat berteduh

siapa yang hendak menempuh sore
ketika matahari belum di atas kepala
kau pun terpenjara

aku tak ingin sore datang begitu awal
membawa senja, menggiring matahari pulang
aku ingin pagi abadi

Depok, 7 Juni 2006

Memo Hari Ini

apa lagi bisa kita jual hari ini: sepasang sepatukah,
yang selalu membalut kaki ke tempat kerja

atau sepotong kemeja yang mengelap keringat
setiap habis menempuh kota

tabung kompor telah kosong, katamu, tempat beras
telah sunyi, dan si kecil perlu ke dokter

apa lagi yang bisa kita seduh hari ini: senyum lelaki itukah,
yang tiap sore meniupkan mantra-mantra di televisi

kita menanam pagi dengan bayangan-bayangan ganjil:
rumah kecil di tengah kebun lengkap dengan tepi pantai

kita melewati sore dengan senda gurau sambil membincangkan
musim panen dan kapal-kapal yang merapat pulang

tapi kau tiba-tiba menepuk pundakku: hujan telah reda,
jalanan menunggu

Depok, 7 Juni 2006

Malioboro

di manakah kau menyimpan kenangan?

kita bersenandung di jalan, menembus malam,
menulis huruf di telapak tangan,
di atas becak yang melaju, di antara suara fals
bibirmu: kita satu!

di manakah kau menyimpan kesunyian?

aku mendapati tawa kecilmu, malam belum
jauh malam itu, kita merentang tangan
masuk ke dalam matamu: kota sontak tergesa
seperti bis yang melaju

di manakah kau menyimpan keabadian?

langit tiba-tiba pucat dan kau menahan erang
gigimu tanggal.

Depok, 6 Juni 2006

Peunayong

kudengar kau sempat berlari, menumpang Nuh,
ketika kota menjadi laut

persis di depan Rex, kau bermalam
bersama agam, penyair yang kehilangan kata-kata itu

kau ingat, Rex adalah laut
tempat kita menyemburkan sajak

menulis malam, juga memaki kegelapan dan langit
yang coreng-moreng

dan pagi itu segala berubah

aku bisa membayangkan, bagaimana kau berlari
dan orang-orang melontarkan puja-puji

tapi tidak sempatkah kau tanya pada Nuh
mengapa Tuhan mengirim laut pasang

dan mengapa Ia tidak mengirim perahu
atau puncak gunung yang tinggi

Pamulang, 5 Januari 2005


Catatan:
---meue, peunayong,

Perahu

seharusnya Nuh datang pagi itu, dengan perahu
sangat besar, mengajakmu berlayar

seharusnya Nuh mengirim pesan pendek pagi-pagi,
agar kau bersiap, membikin perahu

seharusnya Nuh tak diam, melihat Seulanga gugur
dan ranting-ranting musim patah

seharusnya kita memanggil Nuh, dengan puisi langit
dan hikayat pepohonan

seharusnya kita tak diam, tak diam-diam

Pamulang, 5 Januari 2005

Hikayat Diam-diam

--- mengenang y

sunyi menyusup, kau tak hendak berkata
apa pun, langit di luar hijau

kita masuk, pada satu hikayat, dan menulis
aksara baru, diam-diam

kita merangkai kesunyian demi kesunyian,
daun demi daun, juga diam-diam

sampai pada satu titik, kita melihat langit
memerah, di luar hujan

kita bergegas, memecah kesunyian dan pulang
ke dalam diam

sunyi menyusup, kau tak pernah berkata
apa pun, ketika harus pergi, pagi itu

ketika laut membuncah, menggulung
sejarahmu, diam-diam

Pamulang, 5 Januari 2005

Harapan Kecil

aku harap: waktu belum sampai
menjemputmu pulang

belum semuanya sempat kau
rekam: cinta yang runtuh

juga pagi yang memilukan
tubuh-tubuh terbaring

tangis anak-anak
juga ibu kehilangan jantungnya

waktu kembali ke nol
memulai jalan baru

tapi di halaman
orang-orang bersenda gurau

bercakap-cakap
melintasi suara tangisan

belum semuanya sempat kau
rekam: malam yang mencekam

tubuh-tubuh rebah
menjelma mawar di halaman

jangan pergi dulu, kawan

Pamulang, 9 Januari 2005

Riwayat Kecil

---- mengingat seorang penyair

kita jalan kaki dari peunayong malam itu
menempuh rumahmu

malam basah
kita belum makan. "Minum air putih saja," katamu

lalu aku membaca puisi, kau merekamnya
malam mendesah

sempat pula kau menerima telepon
dari seseorang: wajahmu girang

mengapa pagi begitu cepat datang
kita kembali harus makan

lalu kudengar kau telah berladang
di atas kanvas kosong

kau menanam rumput juga mawar
tiap waktu kau terus menyiramnya

puisi-puisi lahir
mawar bermekaran

kanvas menjelma nyanyian
paling kau nantikan

sampai pagi itu datang
sampai laut itu pasang

Pamulang, 9 Januari 2005

Meue

pantai itu masih seperti dulu
menampung musim dan mengirim
nyanyian-nyanyian ke dalam tidur

rumah-rumah bambu di sana
juga masih tegak, meniupkan asap
ke sementaraan langit

masih lengkap: sampan-sampan, perahu,
dan orang-orang yang membungkuk di pasir
menggambar wajah bocah

tak jauh, sebuah rumah semi permanen
pun masih tegak, beserta buku-buku
yang belum semua terbaca

masih ada semuanya: kamar yang
menyimpan album serta halaman yang
menoreh masa kecil

di dapur masih ada bayangan ibu
mendendangkan cintanya pada bapak
dan kasihnya pada kami

masih lengkap: kenangan bertahun-tahun
keringat ibu mengangkut tanah dan
lelah bapak sepulang kerja

semua masih ada: terbingkai di dinding
lengkap dengan pagi yang basah,
suara ombak dan semilir angin

gelombang pagi itu tak mampu
menembus hatiku yang menyimpan cinta
dan kenangan bertahun-tahun

Pamulang, 9 Januari 2005

Setelah Air Mata

kabar itu sudah kuduga: pantai telah
berpindah dan pohon sala di pasar
telah tumbang

orang-orang mendaki bukit
memahat batu: hidup nyaris tinggal
sejengkal

ada yang menangis sendirian
ada yang bersenandung sendirian
lagu-lagu kematian

perjalanan ini masih jauh, saudaraku
buku-buku itu belum tuntas kita tulis
jangan bercinta dengan air mata

angin masih berhembus
matahari masih terbit
di luar orang masih bercakap-cakap

masih ada sajak-sajak yang lahir
masih ada potret kita di dinding
kita telan saja riak itu

sudah kuduga kabar itu: rumah
telah jadi puing dan orang-orang
berangkat jauh

tapi Tuhan masih di sini
mengutip air mata
menjadi rumah di seberang sana

Pamulang, 9 Januari 2005

Rabu, 30 Juli 2008

hujan sudut kota

aku kehujanan, tiada payung
kota bagai puisi
yang menetesi kata demi kata
dan kau dengan setia memungutnya
tanpa malu-malu
meski yang kau temui selalu saja kegelapan
tak mampu mengirim cahaya ke bukit-bukit itu.

Lhokseumawe, Aceh, Desember 1995

cerita untuk ibu

aku menulis kesedihan dalam bus yang bergerak
kota mengajari aku menemukan air mata
tiap saat mesti kupahami dengan kekekalan cinta
kukenang berkali-kali tarian di bibirmu:
laut menjerumuskan kita bila tak pintar mengakrabi cuaca
aku menjadi pelaut yang gemar mencatat buih
melempar kail di mana-mana

Jakarta, Nopember 1996

Jumat, 25 Juli 2008

berkaca pada airmata

aku berkaca pada air matamu, yang membeku, bagai es
ada kolam, seperti perawan yang terbaring,
menunggumu menyelam, membasuh seluruh impian
sebuah dunia pahit, yang tak pernah kau bayangkan

aku kembali ke rumah, katamu, menjadi matahari
bagi bumi yang sakit, bagi langit yang terluka
dan kami menyambutmu, sambil menatap dunia
yang kau tinggalkan
di sudut sana, nun dalam mimpi burung-burung malam

ketika ada waktu, aku ingin bercakap-cakap denganmu
tentang hujan, tentang air mata
yang telah membawamu kembali pulang, yang membuatku
menjadi sangat paham, cinta tidaklah kekal

malam ini, aku hanya bisa kangen, mendengar suaramu,
guyonanmu yang membuat tawa kita berderai

Batang, 27 Juli 2001

masih ada yang bermain

ketika kita pulang malam itu -- lewat sebuah mimpi yang
sangat sempurna dan melelahkan -- masih ada anak-anak
bermain di hatimu, menjangkau kota-kota yang jauh

kini malam itu telah lewat dan kau bersenda gurau dengan
impian-impian yang sangat rapi terlipat di arlojimu
tidak ada kereta yang berangkat, kita kesorean di jalan

dan satu hal yang pasti: di hatimu tidak ada anak-anak lagi
selain orang tua yang batuk-batuk, menunggu matahari
membawanya pergi ke mimpi yang sesungguhnya mimpi

Jakarta, 15 Mei 2001

koran pagi

-- catatan dari kampung air mata

hari ini, kita membuka lagi koran pagi: ada matahari yang pecah
kita mencatat kembali orang-orang yang pergi -- tanpa alamat
yang pasti -- mencium mawar di matahari

tidak ada berita yang menggembirakan hari ini, kata pagi
derum kereta dan brisik jalanan telah menimbun seluruh mimpi
kita tidak sempat berkaca, untuk sekadar menengok

tanggal-tanggal yang telah kita tandai dengan air mata,
sebuah perjalanan yang tak lagi berarti
percintaan mungkin memang harus diakhiri, seperti katamu:

waktu telah meluluhkan matahari, di halaman depan koran pagi
kita tidak mampu bersuara lagi, walaupun sebuah igau
atau sebuah senyum mengantar mereka ke langit abadi

kita mencatat lagi, menulis lagi nama-nama yang pergi, pagi ini

Jakarta, 15 Mei 2001

peristiwa kecil pagi hari

engkau hanya kaget, ketika bangun pagi itu, 21 Juni 2001,
menemukan boneka kecil duduk manis dengan wajah sumringah
serta selembar stiker aneka gambar tokoh kartun kesukaanmu
''bunda, ada teletubbies, untuk saya ya?'' kau gembira,
memastikan itu berkali-kali, berkali-kali
kau tidak tahu, itu hadiah ulang tahun yang bisa kuberikan untukmu

begitulah, kau selalu membuatku mengingat rumah
tempat kita saling mengirim embun, juga matahari
namun adakah kau tahu: matahari yang kau dekap tiap pagi
tidak sepenuhnya bercahaya
waktu telah lebih dulu mengirimkan kabut, dan tiap saat kita coba
singkap dengan langkah-langkah kecil ini

Karena itu, berdoalah selalu, waktu mencair dalam cangkir minum kita
menjadi embun dalam perjalananku, juga untuk pulau yang jauh
yang bakal kau persiapkan sebagai tempat bermain dan
membuat sejarah jadi kebun bunga
untuk itu, bangunlah tiap pagi, seduhlah matahari itu
seperti kau menghabiskan makanan kesukaanmu

Jakarta, 23 Juni 2001

monas 26 juli dalam televisi

matahari telah beranjak, ketika kau datang sore itu,
di Monas, di depan orang ramai, kau berjanji untuk tetap
menjadi dirimu sendiri: hujan ada dalam hati kita
seperti air memasuki ruang yang dahaga

ya, embun ada dalam hatimu, selalu siap menghalau
segala kemarau, juga lukamu yang berdarah
diterjang gelombang. Tetapi, di matamu masih kulihat
sisa-sisa kabut. Matahari belum sepenuhnya membuka jendela

mengubah air mata menjadi senyum kemenangan
kereta itu telah lewat, Gus, membawa kematian menjauh
sebuah ajal yang mungkin maha dahsyat
kita mulai lagi mengeja matahari, menulis bunga-bunga

Batang, 27 Juli 2001

Rabu, 18 Juni 2008

menanam cinta pada ramadhan

MUSTAFA ISMAIL

kutanam cinta padamu, bulan penuh berkah
pengganti seribu bulan yang lewat dan berdebu
matahari yang perak mengusung waktu yang kehitaman
kita menulis hari-hari kita seperti mengulum senyum
paling indah buat seorang perempuan: kita lupakan
warna rambut yang berubah, juga arloji yang menua

Tuhan menjadi tempat kita bersenda gurau
yang selalu terkalahkan. Kita tidak pernah menulis cinta
apalagi menyapanya setiap saat, membikinnya akrab
sebagai kekasih paling setia

Karena itu, aku tidak ingin lagi terlambat
menumpahkan seluruh gairah, segenap perasaan
yang telah membantu jauh
o ramadhan, bikinlah aku betah menekunimu
sebagai bulan maduyang tak habis-habisnya

Jakarta, 18 November 2001

Ini Blog Pribadi

Ini blog puisi. Ini ruang pribadi, tempat bersunyi-sunyi, berasyik-masyuk dengan diri sendiri. Disini, aku benar-benar menjadi diri sendiri, seseorang yang bebas melakukan apa saja demi diri sendiri. Disini, aku merayakan diri sendiri, pikiran sendiri, sikap sendiri, ego sendiri, dan sesuatu yang sangat pribadi. [mustafa ismail]