maafkan aku yang mengirim gerhana ke dalam
arlojimu, sebab hujan tak juga reda dan malam tak
kunjung beranjak
di pucuk pohon, kita menggigil membayangkan
ajal, menyaksikan kota compang-camping,
banyak tubuh rebah, angin bertiup kencang
kita bergayut cemas pada ranting kecil
tanah penuh lumpur, jalanan menjelma kubangan
orang-orang melaju dalam hujan
jadi, maafkan aku yang mengirim kabut
ke dalam mimpimu, sebab angin terus bertiup
dan malam makin gelap.
Depok, 24 April 2006
Sabtu, 13 September 2008
Hujan Belum Reda
Diposting oleh ADMIN di 17.28 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Mengukur Kesunyian
di setiap tikungan, aku mengukur kesunyian:
makin luas, langit makin buram
inilah perjalanan seribu tahun: berangkat dari
pagi yang jauh, menuju pagi baru
tapi kesunyian demi kesunyian tak terbendung
kita mengutip debu, daun kering,
dan sisa rumput. Matahari mati di mulut-mulut
yang menebar senyum di kotak kaca
inilah perjalanan ke kesunyian: sunyi selebar
kota, seluas kampung
jalanan penuh pohon tua yang tumbang
kita terperosok cemas di tiap tikungan
mengerang di kesendirian
Depok, 24 April 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.27 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Tugu
aku meninggalkanmu malam itu, seusai kita
berjalan jauh, menekuni kesunyian
dari stasion Tugu, kereta tak lagi berhenti,
menghapus semua jejak, menutup seluruh percakapan
nyanyian menjadi sayup, wajahmu pun senyap
aku hanya bisa mereka-reka pada suatu masa:
masih seperti dulukah bentuk bibirmu
menjahit kata-kata yang sobek
dan matamu yang serupa danau, masih adakah
potret kita di situ
berguling-guling di rumput, melahap sajak yang
belum dihidangkan
aku terus membangun ingatan: sepanjang apakah
rambutmu ketika kau melambaikan tangan
sehabis kita mengulum beberapa biji salak siang itu
kau larut pada satu sudut
meneruskan percakapan yang belum usai
dan perjalanan yang belum sampai
aku harus meninggalkanmu di Tugu malam itu,
bersama peluit kereta yang melengking panjang
lalu sunyi,
sampai air matamu memercik matahari.
Depok, 8 Juni 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.27 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Senja Siapa
senja siapakah yang kau kirim dalam arlojiku
membuat ruang begitu sempit, halaman menjadi
sepotong kardus
senja siapakah yang kau alirkan dalam darahku
membuat jantungku begitu sering berdebar
setiap menghadapi pagi
senja siapakah yang kau susupkan dalam sepatuku
membuat kakiku kerap gemetar setiap berjalan
dan tubuhku tersungkur di kamar
senja siapakah yang turun bersama hujan
membuatku basah kuyup dan menggigil di jalan
Depok, 7 Juni 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.26 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Bayangan Sore
aku melihatmu begitu menakutkan: cahaya merah
yang menyepuh jendela, burung-burung berseliweran,
seperti bergegas membawa senja
tiap sore, aku menutup seluruh jendela
agar cahaya merah itu menjauh dan burung-burung
pulang ke tempat berteduh
siapa yang hendak menempuh sore
ketika matahari belum di atas kepala
kau pun terpenjara
aku tak ingin sore datang begitu awal
membawa senja, menggiring matahari pulang
aku ingin pagi abadi
Depok, 7 Juni 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.25 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Memo Hari Ini
apa lagi bisa kita jual hari ini: sepasang sepatukah,
yang selalu membalut kaki ke tempat kerja
atau sepotong kemeja yang mengelap keringat
setiap habis menempuh kota
tabung kompor telah kosong, katamu, tempat beras
telah sunyi, dan si kecil perlu ke dokter
apa lagi yang bisa kita seduh hari ini: senyum lelaki itukah,
yang tiap sore meniupkan mantra-mantra di televisi
kita menanam pagi dengan bayangan-bayangan ganjil:
rumah kecil di tengah kebun lengkap dengan tepi pantai
kita melewati sore dengan senda gurau sambil membincangkan
musim panen dan kapal-kapal yang merapat pulang
tapi kau tiba-tiba menepuk pundakku: hujan telah reda,
jalanan menunggu
Depok, 7 Juni 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.24 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Malioboro
di manakah kau menyimpan kenangan?
kita bersenandung di jalan, menembus malam,
menulis huruf di telapak tangan,
di atas becak yang melaju, di antara suara fals
bibirmu: kita satu!
di manakah kau menyimpan kesunyian?
aku mendapati tawa kecilmu, malam belum
jauh malam itu, kita merentang tangan
masuk ke dalam matamu: kota sontak tergesa
seperti bis yang melaju
di manakah kau menyimpan keabadian?
langit tiba-tiba pucat dan kau menahan erang
gigimu tanggal.
Depok, 6 Juni 2006
Diposting oleh ADMIN di 17.23 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Peunayong
kudengar kau sempat berlari, menumpang Nuh,
ketika kota menjadi laut
persis di depan Rex, kau bermalam
bersama agam, penyair yang kehilangan kata-kata itu
kau ingat, Rex adalah laut
tempat kita menyemburkan sajak
menulis malam, juga memaki kegelapan dan langit
yang coreng-moreng
dan pagi itu segala berubah
aku bisa membayangkan, bagaimana kau berlari
dan orang-orang melontarkan puja-puji
tapi tidak sempatkah kau tanya pada Nuh
mengapa Tuhan mengirim laut pasang
dan mengapa Ia tidak mengirim perahu
atau puncak gunung yang tinggi
Pamulang, 5 Januari 2005
Catatan:
---meue, peunayong,
Diposting oleh ADMIN di 17.15 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Perahu
seharusnya Nuh datang pagi itu, dengan perahu
sangat besar, mengajakmu berlayar
seharusnya Nuh mengirim pesan pendek pagi-pagi,
agar kau bersiap, membikin perahu
seharusnya Nuh tak diam, melihat Seulanga gugur
dan ranting-ranting musim patah
seharusnya kita memanggil Nuh, dengan puisi langit
dan hikayat pepohonan
seharusnya kita tak diam, tak diam-diam
Pamulang, 5 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.14 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Hikayat Diam-diam
--- mengenang y
sunyi menyusup, kau tak hendak berkata
apa pun, langit di luar hijau
kita masuk, pada satu hikayat, dan menulis
aksara baru, diam-diam
kita merangkai kesunyian demi kesunyian,
daun demi daun, juga diam-diam
sampai pada satu titik, kita melihat langit
memerah, di luar hujan
kita bergegas, memecah kesunyian dan pulang
ke dalam diam
sunyi menyusup, kau tak pernah berkata
apa pun, ketika harus pergi, pagi itu
ketika laut membuncah, menggulung
sejarahmu, diam-diam
Pamulang, 5 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.14 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Harapan Kecil
aku harap: waktu belum sampai
menjemputmu pulang
belum semuanya sempat kau
rekam: cinta yang runtuh
juga pagi yang memilukan
tubuh-tubuh terbaring
tangis anak-anak
juga ibu kehilangan jantungnya
waktu kembali ke nol
memulai jalan baru
tapi di halaman
orang-orang bersenda gurau
bercakap-cakap
melintasi suara tangisan
belum semuanya sempat kau
rekam: malam yang mencekam
tubuh-tubuh rebah
menjelma mawar di halaman
jangan pergi dulu, kawan
Pamulang, 9 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.13 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Riwayat Kecil
---- mengingat seorang penyair
kita jalan kaki dari peunayong malam itu
menempuh rumahmu
malam basah
kita belum makan. "Minum air putih saja," katamu
lalu aku membaca puisi, kau merekamnya
malam mendesah
sempat pula kau menerima telepon
dari seseorang: wajahmu girang
mengapa pagi begitu cepat datang
kita kembali harus makan
lalu kudengar kau telah berladang
di atas kanvas kosong
kau menanam rumput juga mawar
tiap waktu kau terus menyiramnya
puisi-puisi lahir
mawar bermekaran
kanvas menjelma nyanyian
paling kau nantikan
sampai pagi itu datang
sampai laut itu pasang
Pamulang, 9 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.12 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Meue
pantai itu masih seperti dulu
menampung musim dan mengirim
nyanyian-nyanyian ke dalam tidur
rumah-rumah bambu di sana
juga masih tegak, meniupkan asap
ke sementaraan langit
masih lengkap: sampan-sampan, perahu,
dan orang-orang yang membungkuk di pasir
menggambar wajah bocah
tak jauh, sebuah rumah semi permanen
pun masih tegak, beserta buku-buku
yang belum semua terbaca
masih ada semuanya: kamar yang
menyimpan album serta halaman yang
menoreh masa kecil
di dapur masih ada bayangan ibu
mendendangkan cintanya pada bapak
dan kasihnya pada kami
masih lengkap: kenangan bertahun-tahun
keringat ibu mengangkut tanah dan
lelah bapak sepulang kerja
semua masih ada: terbingkai di dinding
lengkap dengan pagi yang basah,
suara ombak dan semilir angin
gelombang pagi itu tak mampu
menembus hatiku yang menyimpan cinta
dan kenangan bertahun-tahun
Pamulang, 9 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.11 0 komentar
KATEGORI: Puisi
Setelah Air Mata
kabar itu sudah kuduga: pantai telah
berpindah dan pohon sala di pasar
telah tumbang
orang-orang mendaki bukit
memahat batu: hidup nyaris tinggal
sejengkal
ada yang menangis sendirian
ada yang bersenandung sendirian
lagu-lagu kematian
perjalanan ini masih jauh, saudaraku
buku-buku itu belum tuntas kita tulis
jangan bercinta dengan air mata
angin masih berhembus
matahari masih terbit
di luar orang masih bercakap-cakap
masih ada sajak-sajak yang lahir
masih ada potret kita di dinding
kita telan saja riak itu
sudah kuduga kabar itu: rumah
telah jadi puing dan orang-orang
berangkat jauh
tapi Tuhan masih di sini
mengutip air mata
menjadi rumah di seberang sana
Pamulang, 9 Januari 2005
Diposting oleh ADMIN di 17.07 0 komentar
KATEGORI: Puisi