BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 13 September 2008

Hujan Belum Reda

maafkan aku yang mengirim gerhana ke dalam
arlojimu, sebab hujan tak juga reda dan malam tak
kunjung beranjak

di pucuk pohon, kita menggigil membayangkan
ajal, menyaksikan kota compang-camping,
banyak tubuh rebah, angin bertiup kencang

kita bergayut cemas pada ranting kecil
tanah penuh lumpur, jalanan menjelma kubangan
orang-orang melaju dalam hujan

jadi, maafkan aku yang mengirim kabut
ke dalam mimpimu, sebab angin terus bertiup
dan malam makin gelap.

Depok, 24 April 2006

Mengukur Kesunyian

di setiap tikungan, aku mengukur kesunyian:
makin luas, langit makin buram

inilah perjalanan seribu tahun: berangkat dari
pagi yang jauh, menuju pagi baru
tapi kesunyian demi kesunyian tak terbendung

kita mengutip debu, daun kering,
dan sisa rumput. Matahari mati di mulut-mulut
yang menebar senyum di kotak kaca

inilah perjalanan ke kesunyian: sunyi selebar
kota, seluas kampung
jalanan penuh pohon tua yang tumbang

kita terperosok cemas di tiap tikungan
mengerang di kesendirian

Depok, 24 April 2006

Tugu

aku meninggalkanmu malam itu, seusai kita
berjalan jauh, menekuni kesunyian

dari stasion Tugu, kereta tak lagi berhenti,
menghapus semua jejak, menutup seluruh percakapan

nyanyian menjadi sayup, wajahmu pun senyap
aku hanya bisa mereka-reka pada suatu masa:

masih seperti dulukah bentuk bibirmu
menjahit kata-kata yang sobek

dan matamu yang serupa danau, masih adakah
potret kita di situ

berguling-guling di rumput, melahap sajak yang
belum dihidangkan

aku terus membangun ingatan: sepanjang apakah
rambutmu ketika kau melambaikan tangan

sehabis kita mengulum beberapa biji salak siang itu
kau larut pada satu sudut

meneruskan percakapan yang belum usai
dan perjalanan yang belum sampai

aku harus meninggalkanmu di Tugu malam itu,
bersama peluit kereta yang melengking panjang

lalu sunyi,
sampai air matamu memercik matahari.

Depok, 8 Juni 2006

Senja Siapa

senja siapakah yang kau kirim dalam arlojiku
membuat ruang begitu sempit, halaman menjadi
sepotong kardus

senja siapakah yang kau alirkan dalam darahku
membuat jantungku begitu sering berdebar
setiap menghadapi pagi

senja siapakah yang kau susupkan dalam sepatuku
membuat kakiku kerap gemetar setiap berjalan
dan tubuhku tersungkur di kamar

senja siapakah yang turun bersama hujan
membuatku basah kuyup dan menggigil di jalan

Depok, 7 Juni 2006

Bayangan Sore

aku melihatmu begitu menakutkan: cahaya merah
yang menyepuh jendela, burung-burung berseliweran,
seperti bergegas membawa senja

tiap sore, aku menutup seluruh jendela
agar cahaya merah itu menjauh dan burung-burung
pulang ke tempat berteduh

siapa yang hendak menempuh sore
ketika matahari belum di atas kepala
kau pun terpenjara

aku tak ingin sore datang begitu awal
membawa senja, menggiring matahari pulang
aku ingin pagi abadi

Depok, 7 Juni 2006

Memo Hari Ini

apa lagi bisa kita jual hari ini: sepasang sepatukah,
yang selalu membalut kaki ke tempat kerja

atau sepotong kemeja yang mengelap keringat
setiap habis menempuh kota

tabung kompor telah kosong, katamu, tempat beras
telah sunyi, dan si kecil perlu ke dokter

apa lagi yang bisa kita seduh hari ini: senyum lelaki itukah,
yang tiap sore meniupkan mantra-mantra di televisi

kita menanam pagi dengan bayangan-bayangan ganjil:
rumah kecil di tengah kebun lengkap dengan tepi pantai

kita melewati sore dengan senda gurau sambil membincangkan
musim panen dan kapal-kapal yang merapat pulang

tapi kau tiba-tiba menepuk pundakku: hujan telah reda,
jalanan menunggu

Depok, 7 Juni 2006

Malioboro

di manakah kau menyimpan kenangan?

kita bersenandung di jalan, menembus malam,
menulis huruf di telapak tangan,
di atas becak yang melaju, di antara suara fals
bibirmu: kita satu!

di manakah kau menyimpan kesunyian?

aku mendapati tawa kecilmu, malam belum
jauh malam itu, kita merentang tangan
masuk ke dalam matamu: kota sontak tergesa
seperti bis yang melaju

di manakah kau menyimpan keabadian?

langit tiba-tiba pucat dan kau menahan erang
gigimu tanggal.

Depok, 6 Juni 2006

Peunayong

kudengar kau sempat berlari, menumpang Nuh,
ketika kota menjadi laut

persis di depan Rex, kau bermalam
bersama agam, penyair yang kehilangan kata-kata itu

kau ingat, Rex adalah laut
tempat kita menyemburkan sajak

menulis malam, juga memaki kegelapan dan langit
yang coreng-moreng

dan pagi itu segala berubah

aku bisa membayangkan, bagaimana kau berlari
dan orang-orang melontarkan puja-puji

tapi tidak sempatkah kau tanya pada Nuh
mengapa Tuhan mengirim laut pasang

dan mengapa Ia tidak mengirim perahu
atau puncak gunung yang tinggi

Pamulang, 5 Januari 2005


Catatan:
---meue, peunayong,

Perahu

seharusnya Nuh datang pagi itu, dengan perahu
sangat besar, mengajakmu berlayar

seharusnya Nuh mengirim pesan pendek pagi-pagi,
agar kau bersiap, membikin perahu

seharusnya Nuh tak diam, melihat Seulanga gugur
dan ranting-ranting musim patah

seharusnya kita memanggil Nuh, dengan puisi langit
dan hikayat pepohonan

seharusnya kita tak diam, tak diam-diam

Pamulang, 5 Januari 2005

Hikayat Diam-diam

--- mengenang y

sunyi menyusup, kau tak hendak berkata
apa pun, langit di luar hijau

kita masuk, pada satu hikayat, dan menulis
aksara baru, diam-diam

kita merangkai kesunyian demi kesunyian,
daun demi daun, juga diam-diam

sampai pada satu titik, kita melihat langit
memerah, di luar hujan

kita bergegas, memecah kesunyian dan pulang
ke dalam diam

sunyi menyusup, kau tak pernah berkata
apa pun, ketika harus pergi, pagi itu

ketika laut membuncah, menggulung
sejarahmu, diam-diam

Pamulang, 5 Januari 2005

Harapan Kecil

aku harap: waktu belum sampai
menjemputmu pulang

belum semuanya sempat kau
rekam: cinta yang runtuh

juga pagi yang memilukan
tubuh-tubuh terbaring

tangis anak-anak
juga ibu kehilangan jantungnya

waktu kembali ke nol
memulai jalan baru

tapi di halaman
orang-orang bersenda gurau

bercakap-cakap
melintasi suara tangisan

belum semuanya sempat kau
rekam: malam yang mencekam

tubuh-tubuh rebah
menjelma mawar di halaman

jangan pergi dulu, kawan

Pamulang, 9 Januari 2005

Riwayat Kecil

---- mengingat seorang penyair

kita jalan kaki dari peunayong malam itu
menempuh rumahmu

malam basah
kita belum makan. "Minum air putih saja," katamu

lalu aku membaca puisi, kau merekamnya
malam mendesah

sempat pula kau menerima telepon
dari seseorang: wajahmu girang

mengapa pagi begitu cepat datang
kita kembali harus makan

lalu kudengar kau telah berladang
di atas kanvas kosong

kau menanam rumput juga mawar
tiap waktu kau terus menyiramnya

puisi-puisi lahir
mawar bermekaran

kanvas menjelma nyanyian
paling kau nantikan

sampai pagi itu datang
sampai laut itu pasang

Pamulang, 9 Januari 2005

Meue

pantai itu masih seperti dulu
menampung musim dan mengirim
nyanyian-nyanyian ke dalam tidur

rumah-rumah bambu di sana
juga masih tegak, meniupkan asap
ke sementaraan langit

masih lengkap: sampan-sampan, perahu,
dan orang-orang yang membungkuk di pasir
menggambar wajah bocah

tak jauh, sebuah rumah semi permanen
pun masih tegak, beserta buku-buku
yang belum semua terbaca

masih ada semuanya: kamar yang
menyimpan album serta halaman yang
menoreh masa kecil

di dapur masih ada bayangan ibu
mendendangkan cintanya pada bapak
dan kasihnya pada kami

masih lengkap: kenangan bertahun-tahun
keringat ibu mengangkut tanah dan
lelah bapak sepulang kerja

semua masih ada: terbingkai di dinding
lengkap dengan pagi yang basah,
suara ombak dan semilir angin

gelombang pagi itu tak mampu
menembus hatiku yang menyimpan cinta
dan kenangan bertahun-tahun

Pamulang, 9 Januari 2005

Setelah Air Mata

kabar itu sudah kuduga: pantai telah
berpindah dan pohon sala di pasar
telah tumbang

orang-orang mendaki bukit
memahat batu: hidup nyaris tinggal
sejengkal

ada yang menangis sendirian
ada yang bersenandung sendirian
lagu-lagu kematian

perjalanan ini masih jauh, saudaraku
buku-buku itu belum tuntas kita tulis
jangan bercinta dengan air mata

angin masih berhembus
matahari masih terbit
di luar orang masih bercakap-cakap

masih ada sajak-sajak yang lahir
masih ada potret kita di dinding
kita telan saja riak itu

sudah kuduga kabar itu: rumah
telah jadi puing dan orang-orang
berangkat jauh

tapi Tuhan masih di sini
mengutip air mata
menjadi rumah di seberang sana

Pamulang, 9 Januari 2005