BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 30 Juli 2008

hujan sudut kota

aku kehujanan, tiada payung
kota bagai puisi
yang menetesi kata demi kata
dan kau dengan setia memungutnya
tanpa malu-malu
meski yang kau temui selalu saja kegelapan
tak mampu mengirim cahaya ke bukit-bukit itu.

Lhokseumawe, Aceh, Desember 1995

cerita untuk ibu

aku menulis kesedihan dalam bus yang bergerak
kota mengajari aku menemukan air mata
tiap saat mesti kupahami dengan kekekalan cinta
kukenang berkali-kali tarian di bibirmu:
laut menjerumuskan kita bila tak pintar mengakrabi cuaca
aku menjadi pelaut yang gemar mencatat buih
melempar kail di mana-mana

Jakarta, Nopember 1996

Jumat, 25 Juli 2008

berkaca pada airmata

aku berkaca pada air matamu, yang membeku, bagai es
ada kolam, seperti perawan yang terbaring,
menunggumu menyelam, membasuh seluruh impian
sebuah dunia pahit, yang tak pernah kau bayangkan

aku kembali ke rumah, katamu, menjadi matahari
bagi bumi yang sakit, bagi langit yang terluka
dan kami menyambutmu, sambil menatap dunia
yang kau tinggalkan
di sudut sana, nun dalam mimpi burung-burung malam

ketika ada waktu, aku ingin bercakap-cakap denganmu
tentang hujan, tentang air mata
yang telah membawamu kembali pulang, yang membuatku
menjadi sangat paham, cinta tidaklah kekal

malam ini, aku hanya bisa kangen, mendengar suaramu,
guyonanmu yang membuat tawa kita berderai

Batang, 27 Juli 2001

masih ada yang bermain

ketika kita pulang malam itu -- lewat sebuah mimpi yang
sangat sempurna dan melelahkan -- masih ada anak-anak
bermain di hatimu, menjangkau kota-kota yang jauh

kini malam itu telah lewat dan kau bersenda gurau dengan
impian-impian yang sangat rapi terlipat di arlojimu
tidak ada kereta yang berangkat, kita kesorean di jalan

dan satu hal yang pasti: di hatimu tidak ada anak-anak lagi
selain orang tua yang batuk-batuk, menunggu matahari
membawanya pergi ke mimpi yang sesungguhnya mimpi

Jakarta, 15 Mei 2001

koran pagi

-- catatan dari kampung air mata

hari ini, kita membuka lagi koran pagi: ada matahari yang pecah
kita mencatat kembali orang-orang yang pergi -- tanpa alamat
yang pasti -- mencium mawar di matahari

tidak ada berita yang menggembirakan hari ini, kata pagi
derum kereta dan brisik jalanan telah menimbun seluruh mimpi
kita tidak sempat berkaca, untuk sekadar menengok

tanggal-tanggal yang telah kita tandai dengan air mata,
sebuah perjalanan yang tak lagi berarti
percintaan mungkin memang harus diakhiri, seperti katamu:

waktu telah meluluhkan matahari, di halaman depan koran pagi
kita tidak mampu bersuara lagi, walaupun sebuah igau
atau sebuah senyum mengantar mereka ke langit abadi

kita mencatat lagi, menulis lagi nama-nama yang pergi, pagi ini

Jakarta, 15 Mei 2001

peristiwa kecil pagi hari

engkau hanya kaget, ketika bangun pagi itu, 21 Juni 2001,
menemukan boneka kecil duduk manis dengan wajah sumringah
serta selembar stiker aneka gambar tokoh kartun kesukaanmu
''bunda, ada teletubbies, untuk saya ya?'' kau gembira,
memastikan itu berkali-kali, berkali-kali
kau tidak tahu, itu hadiah ulang tahun yang bisa kuberikan untukmu

begitulah, kau selalu membuatku mengingat rumah
tempat kita saling mengirim embun, juga matahari
namun adakah kau tahu: matahari yang kau dekap tiap pagi
tidak sepenuhnya bercahaya
waktu telah lebih dulu mengirimkan kabut, dan tiap saat kita coba
singkap dengan langkah-langkah kecil ini

Karena itu, berdoalah selalu, waktu mencair dalam cangkir minum kita
menjadi embun dalam perjalananku, juga untuk pulau yang jauh
yang bakal kau persiapkan sebagai tempat bermain dan
membuat sejarah jadi kebun bunga
untuk itu, bangunlah tiap pagi, seduhlah matahari itu
seperti kau menghabiskan makanan kesukaanmu

Jakarta, 23 Juni 2001

monas 26 juli dalam televisi

matahari telah beranjak, ketika kau datang sore itu,
di Monas, di depan orang ramai, kau berjanji untuk tetap
menjadi dirimu sendiri: hujan ada dalam hati kita
seperti air memasuki ruang yang dahaga

ya, embun ada dalam hatimu, selalu siap menghalau
segala kemarau, juga lukamu yang berdarah
diterjang gelombang. Tetapi, di matamu masih kulihat
sisa-sisa kabut. Matahari belum sepenuhnya membuka jendela

mengubah air mata menjadi senyum kemenangan
kereta itu telah lewat, Gus, membawa kematian menjauh
sebuah ajal yang mungkin maha dahsyat
kita mulai lagi mengeja matahari, menulis bunga-bunga

Batang, 27 Juli 2001