BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 05 Desember 2005

Empati Lintas Kultural

Oleh: Mohd. Harun al Rasyid, Universiti Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia

Sumber: Rumahykp, Malaysia.

Kehidupan di jagad raya ini senantiasa berubah dari masa ke masa. Perubahan itu terjadi karena berbagai macam alasan, seperti akibat berubahnya musim, berubahnya pola pikir insani, dan dampak kejadian alam. Semuanya inheren dalam kehidupan manusia, sebuah sisi resiprokal yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Sebagai khalifatullah di muka bumi, manusia harus menerima realitas itu dan menjadi pelecut untuk terus berevolusi dan beradaptasi dengan alam yang menyimpan banyak misteri.

Sebuah kejadian alam yang mahabesar di penghujung tahun 2004 terjadi di Aceh: gempa bumi berkekuatan 8,9 skala richter disusul badai tsunami yang terbesar sepanjang sejarah dunia. Dua 'makhluk ini', gempa dan tsunami, telah menelan lebih 400 ribu jiwa manusia (di Aceh-Nias, Srilangka, Maladewa, Thailand, dan Malaysia). Korban terbesar terdapat di Aceh, yakni sekitar 300 ribu jiwa; 150 ribu di antaranya dinyatakan hilang. Kejadian ini telah mengguncang dunia; pekik-tangis membahana, air mata meleleh di pipi-pipi jutaan orang yang tampak kehilangan harapan, keluarga, dan harta benda; empati mengalir dari berbagai penjuru bumi.

Ada orang yang menyebut kejadian ini sebagai bencana, musibah, dan ada juga yang menyebutnya ujian Tuhan. Akan tetapi, tidaklah perlu ditanyakan mengapa gempa dan tsunami itu berpusat di Aceh, sebuah negeri multietnik yang telah berabad terajam konflik. Tidak perlu pula ditanyakan, bagaimana kesedihan orang Aceh yang menderita akibat kejadian alam itu. Yang tampak jelas, dan itu harus dipandang dengan mata batin kemanusiaan, adalah bagaimana orang Aceh bertahan dari deraan itu. Bagaimana pula orang Aceh menahan rasa pilu, membendung banjir air mata, dan menerima dengan ikhlas saudara-saudara mereka dari berbagai penjuru bumi dalam suasana hati mereka yang galau. Dan dalam konteks inilah tulisan ini dibuat.

Tulisan ini terdiri atas dua bagian utama, yakni berkenaan dengan (1) masalah optimisme orang Aceh dalam menyiasati dan atau menghadapi beragam tantangan kehidupan, dan (2) empati lintas kultural yang ditampilkan para penyair dua negara, Indonesia dan Malaysia. Bahasan kedua bagian itu diasaskan kepada puisi-puisi para penyair Indonesia dan Malaysia yang terdapat dalam antologi puisi Ziarah Ombak (Lapena, 2005), dengan tidak menutup kemungkinan diambil juga dari referensi lain. Buku yang dieditori D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa ini memuat ratusan puisi karya 48 penyair, 42 di antaranya adalah penyair Aceh (termasuk 3 penyair korban tsunami, yaitu M. Nurgani Asyik, Maskirbi, dan Mustiar AR). Sementara 3 penyair lain berasal dari Malaysia, yaitu Engku Raja Ahmad Aminullah, Siti Zainon Ismail, dan A. Samad Said, serta 3 lainnya adalah penyair ternama Indonesia, yaitu Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan Amien Wangsitalaja. Untuk menelusuri hakikat makna puisi digunakan pendekatan sosiologis-hermeneutis.

1. OPTIMISME ACEH
Dalam sejarah peradabannya yang telah berlangsung sekitar satu milenium, orang Aceh dikenal sebagai sebuah rumpun etnis yang memiliki watak optimis dalam menjalani hidup. Meskipun hidup dalam pergolakan yang terus-menerus (utamanya sejak pecah perang dengan Belanda, 1873), misalnya, mereka tetap eksis sebagai sebuah komunitas beradab yang berhasil mempertahankan wilayah geografis dan keutuhan kulturalnya. Karena itu pula, orang Aceh yang terdiri atas etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Simeulu, Haloban, dan Aneuk Jamee tetap merasa satu kesatuan rumpun etnis.

Dalam filsafat etika, optimisme (dari Latin: optimum) merupakan pandangan dan sifat hidup yang melihat dunia dan hidup sebagai paling baik. Optimisme berkaitan dengan dunia dan kehidupan seluruhnya, manusia, peristiwa, masa depan, dan sejarah umat manusia (lihat A. Mangunhardjana, 1997:166). Karena itulah orang Aceh menganggap peristiwa gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 secara positif. Dengan kata lain, peristiwa itu tidaklah dipandang sebagai kesialan, malapetaka, apalagi sebagai kutukan. Watak ini sebenarnya diinspirasi oleh pandangan Islam yang percaya bahwa setelah ada kemudharatan akan datang kemudahan. Kemudharatan, dalam konteks ini, tidak boleh dipandang sebagai malapetaka, tetapi sebuah proses kehidupan insaniah di bawah kontrol Sang Khalik yang harus dijalani manusia. Manusia tidak tahu persis rencana dan skenario Tuhan, sehingga konsep qadha dan qadhar yang meru-pakan salah satu rukun iman dalam Islam harus dijadikan sebagai salah satu sandaran bahwa manusia hanyalah pemain dalam drama kehidupan.

Memang, sebagai makhluk manusia yang dibekali otak untuk berpikir dan hati untuk merasa, orang Aceh tidak bisa lepas dari rasa sedih ketika diterpa kejadian yang memilukan seperti pembunuhan tak berdasar dan bencana alam. Namun, orang Aceh terkesan menerimanya dengan tulus, tanpa harus menyalahkan Tuhan. Dalam konteks ini, misalnya, saya menerima banyak SMS (short message service) dari para sahabat di berbagai wilayah Indonesia, termasuk juga dari Malaysia, untuk menyejukkan hati dan meneguhkan keimanan saya kepada Sang Khalik bahwa kehilangan anak, istri dan seluruh harta benda saya adalah ujian Tuhan. Salah seorang sahabat saya dari Makassar, Sulawesi Selatan bahkan yakin bahwa tsunami itu didatangkan di Aceh, karena Allah memandang orang Aceh sanggup menanggungnya. Sedangkan bila menimpa daerah lain di Nusantara, mungkin akan banyak orang yang gila atau stress berkepanjangan. Proposisi itu terasa ada benarnya.

Optimisme orang Aceh ini menyebabkan mereka mampu bertahan dari berbagai deraan masalah, seperti konflik internal, konflik eksternal, dan kejadian alam seperti tsunami dan gempa bumi dahsyat itu. Karena itu pula, orang Aceh dikenal tangguh dalam sisi (a) ketahanan budaya, (b) ketahanan mental, dan pada gilirannya mampu (c) bangkit kembali dari keruntuhan psikologis. Ketiga ketahanan tersebut -yang benang merahnya terdapat dalam sejumlah puisi- diuraikan secara singkat berikut ini.

1.1 Ketahanan Budaya

Secara umum, boleh dikata orang Aceh memiliki ketahanan budaya yang sangat kuat, terutama karena dibentengi oleh nilai-nilai islami. Kebudayaan Aceh yang islami yang telah mengalami proses sinkretisasi dengan budaya asli orang Aceh menjadi simbol ketangguhan dalam menjalani hidup. Mereka percaya betul bahwa Islam sebagai agama merupakan jalan hidup yang benar dan baik. Islam mengajarkan mereka untuk tidak boleh bersikap pesimistis. Prinsip-prinsip budaya islami inilah yang meneguhkan keya-kinan mayoritas orang Aceh bahwa 'segala sesuatu yang akan terjadi, memang akan terjadi pada saatnya'.

Lihatlah, bagaimana ketegaran aku lirik Sukran Daudy dalam puisinya Aku tidak Kehilangan Tuhan. Dengan bahasa transparan, ia nyatakan bahwa ketika semuanya telah hilang, manusia tidak boleh kehilangan Tuhan, termasuk tidak boleh kehilangan diri sendiri. Saya kutip seluruhnya.

Ibuku hilang
Bapakku hilang
Anakku hilang
Kakek nenekku hilang
Kekasihku hilang
Keluargaku hilang

Aku mencari dari gelimpangan
Manusia telah hilang
Air mata juga hilang
Alamat rumahku hilang
Aku tinggal di kehilangan
Tangisku hilang

Aku kehilangan kata-kata
Aku melangkahi kehilangan
Tetapi aku tidak kehilangan Tuhan
Takengon, 4 Februari 2005

Jika Sukran Daudy menggambarkan suasana kehilangan segala-galanya itu dengan bahasa seadanya, Faridah memperlihatkan kemampuannya memanfaatkan simbol alam yang sangat kuat. Suasana batin yang begitu menggetarkan tampak sangat terasa dalam puisinya yang sangat ekspresif. Untuk menjaga keutuhannya, puisi 'sang ibu yang kehilangan anak' ini pun diturunkan sepenuhnya.

100 HARI ENGKAU KUNANTI
(Untuk putraku: Husni Taufik)

kukirim salam untukmu
ketika fajar mulai merekah
bibir ini mendesah membisikkan namamu

kukirim salam untukmu
ketika malam tanpa cahaya
bibir ini bergetar menyebut namamu

rinduku padamu ananda
seratus hari tanpa berita
di laut manakah engkau merendam tawa
di pulau manakah engkau membukit senda

langitku yang biru samakah
dengan langitmu
adakah rinduku sama dengan rindumu

di sini aku menanti dalam rindu yang ngilu
dalam pasrah tanpa gelisah
dalam doa tanpa suara
Banda Aceh, April 2005

Dalam puisi itu, tampak bagaimana keteguhan iman Faridah menyikapi apa yang terjadi pada anaknya yang hilang dalam tsunami. Sebuah kerinduan sang ibu tampak mengen-tal dalam baris-baris puisi; sesuatu yang tak bisa disembunyikan oleh seorang wanita yang melahirkan sang anak: adakah rinduku sama dengan rindumu. Namun, Faridah yakin bahwa batas antara kerinduan semu dan penantian kepulangan putranya ada /...dalam pasrah tanpa gelisah/dalam doa tanpa suara.

Faridah tidak sendiri. Ujian bagi Mohd. Harun al Rasyid malah lebih dahsyat. Ia kehilangan istri, putra dan putrinya. Dalam puisinya berjudul Aku Bertanya Pada-Mu, Harun yang pada bait-bait awal tampak menggugat Tuhan, akhirnya menyadari bahwa dirinya, istri, dan anak-anaknya adalah milik Tuhan. Simak dua bait terakhir puisinya.

Di bawah singgasana-Mu
Perkenan aku bermohon
Berilah mereka payung cinta-Mu
Abadi dalam rahmat
Dan aku yang masih bernafas
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Agar selalu mampu merangkai rasa sedih
Menjadi untaian tasbih
Merangkai gelisah menjadi sajadah

Tuhan Yang Maha Perencana
Aku bertanya pada-Mu
Karena aku sadar memiliki-Mu

Demikianlah, kesadaran akan adanya kekuatan iman kepada al-Khalik menyadarkan si aku lirik dalam memandang sebuah masalah, sebuah peristiwa. Rasa sedih, yang sering menggelayuti hati anak manusia, dimintanya agar menjadi untaian tasbih dan gelisah menjadi sajadah: keduanya adalah simbol penyerahan diri kepada Allah.
Penyair Fikar W. Eda, yang dikenal sebagai penyair dengan kekuatan kata yang baik, juga ikut memperkuat proposisi adanya ketahanan budaya islami yang sangat kuat dalam diri orang Aceh. Dalam puisinya Nyeri Aceh, ia menulis dalam bait terakhir.
....
dan kepada kami, ya Allah
berilah kekuatan
menanggungkan perih ini
menjadikannya cermin
tempat kami memungut hikmah.

Secara implisit, tampak Fikar tidak menganggap peristiwa tsunami sebagai kutukan. Baginya, tsunami itu adalah cermin untuk mengaca diri: juga bagi siapa pun yang memiliki akal pikiran dan hati nurani. Benar, tsunami bukanlah kutukan, karena Tuhan tidak pernah membenci. Proposisi ini sangat kentara dalam bait pertama dan bait terakhir puisi panjang Nurdin F. Joes: Engkau tak Pernah Membenci.

Tuhanku kekasih
Engkau tak pernah membenci
kecuali menguji
sejauhmana kami bersabar
sejauhmana kami merela
....
Tuhan yang pemaaf
kami masih dapat bersabar
kami telah dapat merela
kami masih meminta uji tegur-Mu
Banda Aceh, 19 Februari 2005

Nurdin yang juga banyak kehilangan anggota keluarga, meskipun bukan keluarga batih, memandang tsunami itu sebagai ujian kesabaran dan ketabahan. Bahkan, ia 'berani' menyatakan bahwa 'saudara-saudaranya' orang Aceh masih sanggup menerima ujian Tuhan, jika Tuhan menghendaki lagi: kami masih meminta uji tegur-Mu.
Ketahanan budaya juga diperlihatkan oleh Wina SW1 dalam puisinya Kalau Kau Mau Memaafkanku.
.....
maafkanlah aku,
karena aku takkan pernah marah pada Tuhan
yang telah mengirimkan mimpi buruk ini
dan membuat batas panjang dalam sedetik
jarak tipis tak tertembus

aku percaya, ini adalah tanda cinta-Nya
buat kita
cinta abadi berbalut rahasia yang tak pernah
mampu tercerna

Dalam perenungannya yang intens, wanita penyair yang sedang studi doktoral di Jepang ini (puisi ini ditulis ki Kyoto), tetap sama dengan beberapa penyair Aceh lain. Baginya, tsunami adalah tanda cinta Tuhan kepada orang Aceh. Walau berada jauh di negeri 'pemeluk Shinto', Wina seorang pensyarah (lecturer) di Fakulti Teknik Universiti Syiah Kuala, tetaplah wanita Aceh sejati yang mengekalkan diri dengan budaya optimis.
Di sisi lain, Rosni Idham, wanita penyair dari Pantai Barat Aceh, juga meyakini bahwa para korban tsunami adalah orang-orang yang bersih dan mendapat 'fahala syahid'. Hal ini terimplisitkan dalam puisinya Bunga Setaman yang antara lain diwakili oleh diksi-diksi 'kesuma' 'pelukan kasihnya', dan 'surga'.

Bunga-bungaku, wahai...
Di sisi-Nya engkau adalah kesuma
Damailah dalam pelukan kasih-Nya
Ikhlas kami melepas
Selamat jalan bunga-bungaku
Di gapura syurga kita bertemu

Simbol-simbol ketahanan budaya islami juga disuarakan Taufiq Ismail dalam puisinya Membaca Tanda-Tanda. Agak berbeda dengan Rosni, Taufiq malah langsung menyebut mereka yang meninggal karena tsunami sebagai syuhada yang diantar malaikat rahmat ke pintu surga. Penyair religius ini dikenal sebagai sosok yang dekat dengan komunitas Aceh dan karena itu bisa memahami hakikat budaya orang Aceh. Inilah sebait puisinya.

Bilakah tersingkap hijab sehingga yang tampak adalah barisan ribuan syuhada
Yang gembira diantar malaikat berbondong-bondong ke Jannatu Na'im
Dan bayi-bayi Aceh itu berlari-larian lincah ke gerbangnya
Di sana mereka tunggu orangtua mereka yang sedih di dunia
"Jangan sedih begitu, ayah dan ibu, susul anakmu
Di pintu agung Taman Firdaus anakmu menunggu."

Taufiq berikhtiar memberikan penguatan akan keteguhan hati orang Aceh menghadapi ujian Allah. Inilah support yang sangat baik, terutama bagi orang tua yang kehilangan anaknya secara tidak normal, karena kehilangan anak merupakan peristiwa yang sangat memilukan hati.

1.2 Ketahanan Mental

Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampai saat ini terdapat satu juta rakyat Aceh yang terkena bencana tsunami (Kompas, 5/9/2005). Diperkirakan pula, sekitar 500 ribu jiwa akan mengalami masalah psikososial, dan 100 ribu orang di antaranya membutuhkan pertolongan ahli kesehatan jiwa (psikiater). Yang dimaksud satu juta orang itu tampaknya orang-orang yang terkena dampak langsung dari tsunami, seperti orang-orang yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda. Jumlah tersebut merupakan 25 persen dari jumlah penduduk Aceh yang kini tinggal sekitar 4 juta orang (belum ada sensus penduduk terbaru). Sementara secara tidak langsung boleh dikata semua orang Aceh kena imbasnya.

Jika ada orang Aceh yang terkena dampak langsung tsunami itu memperlihatkan gejala abnormal, oleh sejumlah pakar psikologi hal itu dinilai wajar. Paling tidak ini diakui Suryo Dharmono, Ketua Pusat Kajian Bencana Departemen Psikiatri Fakulti Kedokteran Universiti Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM). Beliau berkata, "gejala-gejala distres mental yang muncul, seperti ketakutan, gangguan tidur, mimpi buruk, siaga berlebihan, panik, berduka, adalah respons psikologik 'normal' terhadap peristiwa yang sangat tidak normal" (Kompas, 5/9/2005).
Beberapa puisi dalam antologi Ziarah Ombak mendeskripsikan ketahanan mental-psikologis orang Aceh. Rosni Idham, penyair wanita Aceh dari Pantai Barat, misalnya, sembari mengakui kelemahan manusia, ia coba merepresentasikan semangat hidup saudara-saudaranya yang sedang diuji. Dalam puisinya Pengaduan, hal ini sangat mengemuka.

Tuhan,
Atas izin-Mu
Akan kuteruskan pengembaraan ini
Walau terseok-seok
Terus dan terus melangkah merajut puing
Walau hati terasa berkeping
Meulaboh, 1 Maret 2005

Perhatikanlah, walaupun dalam suasana lara, Rosni yang mewakili aku lirik sebagai wanita Aceh yang tegar dalam perilaku mencoba menggambarkan sebuah tekad hidup islami bahwa walau terseok-seok tetapi harus terus dan terus melangkah merajut puing. Artinya, kehancuran hati dan harta benda tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Ia harus dijadikan hikmah untuk menatap hidup yang lebih optimis di hari esok. Dengan pandangan positif itulah, 'benang-benang' kehidupan bisa 'ditenun' kembali.

Dhe'Na, wanita penyair yang juga kehilangan orang terkasih, mengekalkan ketegaran jiwanya dalam puisi Lalu Rembug Puing. Simak bait terakhir puisinya.

lalu bersiap pergi
pejuangku melangkah pasti lalu
di sini di puing kehancuran ini
kutanya pada diri tentang
kesiapan menerima lewat rembug sang puing
menjawab pasti ketegaranmu
adalah kerelaannya dan kerelaanmu
adalah ketegarannya
Banda Aceh, Januari 2005

Dua larik, yaitu ... kutanya pada diri tentang/ kesiapan menerima lewat rembug sang puing.. kiranya telah cukup memberikan gambaran kepada pembaca bahwa Dhe'Na adalah sosok gadis Aceh yang memiliki ketahanan mental.
Sebuah puisi yang sangat memukau dari sisi ketahanan mental ditulis Azhari, anak muda yang sangat kreatif. Ia kehilangan seluruh keluarga batih dan kampungnya tidak ada yang tersisa: rata. Namun, lihatlah bagaimana kokoh pertahanan batinnya, sebagaimana terpotret dalam puisi Ibuku Bersayap Merah. Saya kutip bait berikut.

lihat Ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di sudut kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kau ceritakan padaku

Dalam kesendirian yang menyepi dari kegembiraan, pada saat puisi ini ditulis, Azhari masih mampu berkomunikasi dengan ibunya, bagaikan komunikasi sehari-hari, ketika cinta sang ibu berbinar-binar di hatinya, pada masa lalu. Di sisi lain, simak juga sebait puisi Arafat Nur, Alia, Gadis Kecilku yang dengan semangat baja ia berkata-kata dengan 'gadis kecilnya' yang telah pergi untuk selamanya.


maafkanlah aku
yang tak sempat mengantarkanmu
mungkin besok
atau lusa
kita bertemu juga
di surga

Sebuah puisi lain, Setelah Air Mata, yang ditulis Mustafa Ismail, memberikan spirit yang sangat baik untuk saudara-saudaranya yang sedang menghadapi hari-hari sulit. Inilah beberapa bait puisi Mustafa.

orang-orang mendaki bukit
memahat batu: hidup nyaris tinggal
sejengkal
....
perjalanan ini masih jauh
buku-buku belum tuntas kita tulis
jangan bercinta dengan air mata

angin masih berhembus
matahari masih terbit
di luar orang masih bercakap-cakap

masih ada sajak-sajak yang lahir
masih ada potret kita di dinding
kita telan saja riak itu

Mustafa, wartawan Koran Tempo Jakarta ini, juga kehilangan banyak sahabat dan handai tolan di kampungnya Trienggadeng/Panteraja, Pidie. Kepada saudaranya ia mengabarkan bahwa matahari masih terbit dan angin masih berhembus dan karena itu pula kehidupan masih harus dilanjutkan.
Dalam bagian ketahanan mental ini, Wina SW1 juga ikut meramaikannya. Dalam puisi Kalau Kau Mau Memaafkanku..., ia menulis

kalau kau mau memaafkanku …
aku bisa tetap tegar, menata yang terhempas
dan mengirimkan berbait-bait doa buatmu
dan mereka

selamat jalan, saudaraku, kekasihku, sahabatku
hidupmu abadi dalam doa dan ingatanku
: selalu
Kyoto, awal Januari 2005

Begitulah Wina, dalam irama batinnya yang galau menyaksikan tragedi tsunami dari jauh, ia tentu tidak sempat meminta maaf pada teman, sahabat, handai tolan. Karena itu, ada sesuatu 'yang mengerikil' dalam hati yang membuatnya risi. Namun, ia adalah wanita penuh asa yang tidak membiarkan diri larut dalam masa lalu. Ia tegar dalam kenangan dan ingatan kepada mereka yang pernah menghiasai lembaran hidupnya.


1.3 Kebangkitan Kembali

Kebangkitan kembali yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah upaya untuk memper-baiki kehidupan yang terlanjur centang-perenang setelah diamuk gempa bumi dan tsunami Desember 2004. Secara fisik, kebangkitan belum begitu menggembirakan. Masih banyak pengungsi bertahan di kemah-kemah dengan sanitasi buruk. Sementara secara psikologis, banyak korban tsunami mulai memahami bahwa hidup tergantung dari orang lain tidaklah baik, dan itulah sebenarnya watak orang Aceh. Watak ini terekam jelas dalam sebuah hadih maja: Taharap keu aneuek buta siblah/taharap keu gob buta ban dua blah/tapubuet keudroe nyan barô sah. Artinya: Berharap pertolongan anak buta sebelah/berharap pertolongan orang lain buta keduanya/mengerjakan sendiri barulah sempurna.
Kebangkitan kembali semangat hidup orang Aceh banyak terekam dalam puisi-puisi yang ditulis oleh putra-putra Aceh dan bukan Aceh. D. Keumalawati, dalam puisi Dahaga Laut, misalnya, menyerukan 'ruh' kehidupan agar kembali bersemayam dalam diri orang Aceh. Simaklah sebait puisi itu.

o lihatlah perahu-perahu itu menuju
jejak kampung kami yang senyap tanpa canda
pesisir yang wangi oleh cemara
desah nafas kami terkurung di sini
biarkan kami mendekat
memungut kayu-kayu yang berserakan
untuk tiang gubuk kami yang baru.

Si aku lirik coba menempatkan diri sebagai anak-anak nelayan yang merindukan kembali wangi tanaman cemara dan ingin tetap tinggal di pesisir sebagai anak nelayan. Mereka ingin membangun kembali rumah mereka yang telah hilang, meski namanya gubuk: lambang kemiskinan harta benda. Namun, mereka bahagia di sana.
Ruh kebangkitan kembali juga tampak kentara dalam puisi Bangkitlah karya Armiati Langsa. Kebangkitan dimaksud lebih mengarah kepada kebangkitan kembali kesenian Aceh, seni yang bersandarkan kepada bangunan religius-spiritualitas dan ini menjadi lambang kecerdasan emosional keberbudayaan orang Aceh. Hal ini, antara lain, direpresentasikan melalui diksi zikir, tob dabôh (debus), seudati, dan idalaé (dalailul khairat). Simak sebait puisi tersebut.
....
Bangkitlah bungongku…
Bangkitlah cémpalaku, terbanglah…
Jadikan nanggroe ini nanggroe sejati
Dengan nyanyian dan lagu memuji Ilahi
Dengan zikir…
Gemakan kembali tob dabôh, seudati dan idalaé
Yang telah lama karam berganti tarian merangsang
Dan nafas menggelora

Di sisi lain, seorang penyair ternama Malaysia, Raja Ahmad Aminullah, ikut mensupport kebangkitan kembali Aceh dari semua sisi. Saya kutip puisinya secara utuh.

TUNAS JIWA

dari robohan kota dan desa
pemusnahan ladang dan belantara
bot nelayan dan hidupan ternakan
teriakan tanpa putus kanak-kanak dan orang dewasa
bangunkanlah

dari cambah nyiur ke tunas jiwa
merentas ombak dan gelombang tsunami

hidup hidupkanlah
seperti tunas-tunas kelapa
yang membesar mengembara dari benua ke benua
mengisyaratkan nyawa dan kehidupan
yang bertahan

bangun bangunkanlah
jiwa-jiwa kental
selepas mengharungi ombak dan gelombang
melayari kehidupan seterusnya

seperti phoenix bangun
menghidupkan

Larik hidup hidupkanlah yang tampil dua kali ditambah larik bangunkanlah adalah ajakan sangat santun kepada saudaranya. Raja Amanullah tampak yakin akan keteguhan orang Aceh menghadapi ujian Ilahi. Ia bahkan menginginkan orang Aceh agar dapat hidup di mana-mana, bagaikan kelapa, yang akan tumbuh di mana ia terdampar.
Dalam konteks ketahanan mental ini, baik juga dikutip sebuah puisi Mohd. Harun al Rasyid (dalam kumpulan Lagu Pilu Orang Kuyu) yang sengaja ditulis untuk membangkitkan semangat anak-anak Aceh yang sempat turun ke titik nadir. Puisi tersebut berjudul Aku Bangkit.

aku anak adam yang terajam bencana
hari ini bangkit mengganyang duka lara

sisa-sisa kesedihan yang terlanjur membeku
kusingkirkan dengan semangat baru

aku tak lagi mau bersilang tangan
tak juga ingin terbuai janji kerontang

hari ini hari yang penuh bunga harapan
aku mesti memetiknya walau setangkai

lihatlah kawan!
aku telah sembuh dari luka derita
kini tersenyum kembali dalam suka cita
Sigli, 22 April 2005

2. EMPATI LINTAS KULTURAL

Betapa dahsyatnya kejadian alam dan betapa galaunya hati orang Aceh dalam menapaki hari-hari yang sangat membingungkan pascagempa dan tsunami itu, telah menyebabkan ribuan jurnalis tumpah ke Aceh. Ribuan penulis menurunkan tulisannya di media massa, buku-buku, dan ratusan sastrawan mengabadikan moment ini dalam karyanya. Para sastrawan memotret kejadian ini sebagai fakta empiris dalam bingkai cermin sosial; sebuah fakta sejarah yang mengantarkan perubahan radikal (mendasar) dalam perikehidupan orang Aceh selanjutnya.

Dalam pandangan positif, gempa bumi dan tsunami Aceh menebarkan hikmah yang luar biasa besarnya bagi seluruh umat manusia. Kejadian ini telah merontokkan sekat-sekat agama, sekat-sekat etnis, dan tembok-tembok permusuhan. Puluhan ribu sukarelawan dari berbagai etnis, budaya, dan agama masuk Aceh dengan satu tekad: memberikan pertolongan maksimal untuk saudara Aceh 'yang telah jatuh lalu tertimpa tangga'. Kejadian ini pulalah yang menyinari hati pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menghentikan saling 'cakar' di bumi Aceh. Mereka sepakat 'menanam pohon perdamaian yang abadi' sejak 15 Agustus 2005.

Dalam kasus bantuan kemanusiaan di Aceh ini, saya kurang yakin bila ada pihak yang menuduh bahwa banyak lembaga asing masuk Aceh dengan misi agama tertentu. Saya lebih melihat kehadiran sukarelawan ke Aceh adalah karena mereka ingin berbagi rasa dan menolong orang Aceh yang sangat amat pantas mereka tolong. Mereka, apakah si kulit putih, si kulit hitam, si kulit coklat, semuanya 'membawa' empati yang luar biasa. Dalam hidup ini, memang, tidak semua orang dapat berempati untuk saudaranya, apalagi musuhnya. Padahal, kita sama-sama dianugerahi sepotong hati. Dan empati itu pulalah yang menyebabkan ratusan penyair menulis puisinya tentang tsunami dari sudut pandang yang mungkin sama dan mungkin saja berbeda.

Tidaklah salah kalau saya menyebut ada ratusan penyair yang telah menuliskan puisinya mengenai tsunami dan itu terkait dengan Aceh. Sebut saja, misalnya, puluhan penyair dalam antologi puisi Mahaduka Aceh (PDS HB Jassin, 2005). Antologi serupa juga terbit di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malaysia dan Brunei Darussalam (lihat juga Ahmadun Y. Herfanda dalam pengantar Ziarah Ombak), bahkan di mancanegara.

Kata empati berasal dari Yunani enpatheia (rasa perasaan, emosi, pengalaman). Secara sederhana empati dimaksudkan sebagai proyeksi perasaan batin seseorang pada sebuah objek (atau subjek) atau suatu kegiatan (periksa Lorens Bagus, 2002:196-197). Dan inilah yang saya maksudkan bahwa para penyair yang tergabung dalam Ziarah Ombak telah menaruh empati untuk orang Aceh. Empati tersebut tidak hanya diperlihat-kan oleh penyair Aceh, tetapi juga, malah utama, oleh penyair lain yang tidak memiliki hubungan langsung secara kekerabatan dengan orang Aceh, seperti dari Jakarta, Jogyakarta, dan Malaysia. Mereka berangkat dari beragam etnik dan latar belakang budaya. Yang jelas, kebersamaan ini saya nilai sebagai reprensentasi empati mereka untuk orang Aceh khususnya dan kemanusiaan amnya.

Perhatikanlah bagaimana empati Amin Wangsitalaja dalam puisi Makrifat Acheh 1. Dalam bahasa batin, ia merasakan diri sama dengan saudara Aceh yang dilanda tsunami, yang kehilangan keluarga, harta benda dan harapan. Tsunami itu pulalah yang semakin mendekatkan dirinya dengan tanah Aceh: ...seperti cinta mendekatkan pengantin. Inilah puisi pendek Amin yang indah dan bernas.

ada yang mendekatkanku padamu
seperti cinta mendekatkan pengantin

ada yang mendekatkanku padamu
aroma mayat
mendegupkan tari sufiku
meneguhkan fani tubuhku

Ternyata, jika dirunut ke belakang, Amin sudah jauh hari berempati kepada Aceh. Dalam puisinya Acheh Nampar, misalnya, ia merekam realitas konflik di Aceh yang menurutnya 'keterlaluan'.
....
setiap hari nyawa orang menjadi bahan mainan
"buat apa sekolah, nanti juga mati di jalan
ditembak orang
mati tak dikenal"

Namun, kesedihan yang paling terasa juga baginya adalah tsunami. Dari negeri jauh, ia membandingkan kesedihan orang Aceh, yang juga kesedihannya, pada saat konflik yang setiap hari ada orang ditembak mati dengan korban tsunami yang ratusan ribu dalam sekejap. Masih dalam puisi yang sama, ia lanjutkan.
....
tahun-tahun lalu, bukit-bukitku, hutan-hutanku, sungai-sungaiku,
laut-lautku menjadi saksi
dari nyawa-nyawa yang selalu saja melayang tanpa nama
kali ini, dalam sekejap saja, kembali harus kupersaksikan
ratusan ribu nyawa melayang tanpa nama
(kiranya merekalah syahidin
yang ingin kau bergegas merengkuhnya dalam pelukmu)

Selanjutnya, sebuah puisi bernada empati yang sangat bagus ditulis oleh penyair A. Samad Said dengan judul Lidah Tsunami. Perhatikanlah bahwa seluruh larik puisi berikut ini mengandung empati.

Tsunami menggertak ketabahan negara-
merobah batas diri, merangsang bersatu,
melebarkan jalur luka, menggugah kalbu.
Ia mencairkan warna kulit, mengsyahdu
ketar batin dan menenung mata yang gamam
serta mulut yang ternyata terkejut bungkam,
dan serentak juga merangsang manusia-
bangsa yang berbeda dari manapun juga
menjadi warga tanah terdera yang sama.

Menurut A. Samad, tsunami telah mengajarkan manusia untuk saling mencintai, menihilkan batas-batas negara, ras, bahasa, dan budaya. Namun, yang lebih penting adalah dengan tsunami itu, semua manusia seakan menjadi tubuh yang sama dan jiwa yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh korban tsunami: menjadi warga tanah terdera yang sama. Empati tersebut juga mengental dalam bait-bait di bawah ini.

Dan kita insan yang sedang dalam pusaran-
rumah dan kapal, pepohon, titi dan pagar-
serentak saja menjadi rakan terdera,
takjub, nahas yang sempat mengakrabkan kita!
Pada senja yang malam, dan dini yang subuh,
pagi yang siang, kini tangis seluruh,
dan semua kalbu berdoa dalam syahdu,
memohon tabah dan keberkatan baru.

Hari ini duka yang hebat,
tangan musim yang menggeletar,
jantung bumi yang terluka-
nafas lara kita bersama.
Bangsar Utama, Kuala Lumpur, 30-31, Disember, 2004.

Hampir sama dengan Samad, dengan nada optimistis pula, Raja Ahmad Aminullah, dalam puisinya Aku Hanya Menikmatimu dalam Mimpiku coba mengekalkan empati dalam warna-warni perbedaan. Katanya

betapa indahnya perhubungan dan persahabatan
antara sesama insan
yang terbina atas rasa hormat dan kasih
merentasi lautan waktu
lurah dan gunung kehidupan

Melalui kejadian tsunami ini, Raja Ahmad Aminullah mengajak saudara serantau dan umat manusia amnya untuk hidup bersaudara. Simak bait berikut.
.....
sungguh aku ingin menikmati persahabatan yang merangkumi
keupayaan menjaring perbedaan
menghormati malah merayakan sudut pandang yang berlainan
merangkul kritikan yang pedas dan tajam
bukan hanya terpasung dalam penjara kata-kata puja
terjaring dalam retorika muluk-manis
idiom dan metafora memukau
pulau pinang, khamis, 28 julai 2005

Tampaknya, sebagaimana A. Samad, Raja adalah penyair humanis yang menginginkan perbedaan itu sebagai 'ratu' (menghormati malah merayakan sudut pandang yang berlainan). Ya, perbedaan dipandang sebagai rahmat, tidak melulu terbuai dengan kata-kata manis yang belum tentu berhikmah. Diinspirasi oleh dua penyair ini dalam memandang kebenaran dan kebaikan, saya menurunkan sebuah analogi mengenai perbedaan penginderaan bunyi kokok ayam dalam beberapa bahasa Nusantara. Jika ayam jantan yang sama berkokok di depan beberapa etnis berikut, bunyi yang ditangkap masing-masing adalah sebagai berikut.
Bunyi Kokok Ayam Jago (Jantan) Beberapa Bahasa Daerah Nusantara

NO. DAERAH BAHASA BUNYI KOKOK
1 Jawa (Tengah, Timur) Jawa kukuruyuuuk
2 Jawa Barat Sunda kongkorongook
3 Aceh Aceh 'uk uuk 'uuuk
4 Kalimantan Barat Dayak Kanayatn koko oook?!
5 Kalimantan Selatan Banjar kungkuuuk
6 Sulawesi Utara Minahasa kukuru'uuk
7 Nusa Tenggara Timur Tetun (Timor) kokorekooo
8 Nusa Tenggara Timur Manggarai (Flores) kakorooo
9 Nusa Tenggara Barat Bima kooko koko kokoo
10 Sulawesi Selatan Bugis Kuk kuruuu yuuk
11 Sulawesi Tengah Kaili tiitiirikua
12 Sumatera Barat Minangkabau uk uk uk uk uak
Sumber (sesuai dengan nomor urut): (1) Gr. Mujiono, (2) Ekarini Saraswati, (3) Teuku Alamsyah, (4) Regina, (5) Ahmad Ridhani, (6) Maxie Timbuleng, (7) Damianus Talok, (8) Agustinus Semiun, (9) Mayong Maman, (10) Salam, (11) Gazali Lemba, (12) Ramalis Hakim.

Empati hebat juga diperlihatkaan oleh penyair wanita Malaysia yang paling akrab dengan Tanoh Rincong, yaitu Siti Zainon Ismail. Empati Siti Zainon merepresentasikan perasaan serupa yang dialami oleh orang Aceh. Di mata batinnya, seperti tsunami yang datang tiba-tiba dan menghanyutkan jutaan harapan, demikian pulalah Siti pulang ke Malaysia dalam keadaan tak bisa berkata-kata karena kehabisan kata. Empati itu terpatri dalam puisi dua larik berjudul Aku Pulang Tanpa Kata.

Seperti kau datang tiba-tiba
aku pulang tanpa kata!
Gombak, Kuala Lumpur, 26 Januari 2005

Siti yang datang langsung ke Aceh beberapa hari pascatsunami ikut larut dalam kepiluan pengungsi, seperti yang direkam dalam puisi pendek berikut ini.

SUARA DI CELAH KHEMAH

Takbir pun bergema,
menyatu dalam angin pagi
laut terbuka sebatas pandang
di celah khemah pelupuk mata sayu,
gundah gelana mereka
dapatkah kau tangkap
gelisah marah atau pasrah?
Posko Kampus Darussalam, 21-01-2005; 06:50:12

Seperti yang dirasakan pengungsi, seperti yang dirasakan Siti bersama pengungsi, seperti itulah ia ingin bertanya kepada manusia lain: dapatkah kau tangkap/gelisah marah atau pasrah? Siti telah menangkapnya, Siti telah memasukkan jiwa 'ruh' pengungsi ke dalam tubuhnya. Siti telah merasakannya, sama dengan mereka.
Empati yang sangat baik juga ditemukan dalam puisi Taufiq Ismail. Puisi panjangnya Membaca Tanda-Tanda sarat akan dimensi kemanusiaan yang mampu menggugah kesadaran insaniah untuk selalu hidup dalam kebersamaan: merasakan indah dan kelamnya hidup, suka dan duka bersama, bersama-sama. Dalam bait-bait berikut ini, misalnya, Taufiq menyentuh dinding nurani kita.

Dapatkah kita bayangkan dua puluh empat jam waktunya
Berpuluh, beratus, beribu mayat bergelimpangan
di tepi dan di tengah jalan raya
bertumpukan di bawah puing-puing
bergelantungan di pohon-pohon
ditutupi koran, spanduk, bendera, plastik dan dedaunan?

Dapatkah kita bayangkan air lautan berpacu luar biasa kencang
Setinggi tiang listrik, semua dia terjang, semua dia habisi?

Dapatkah kita bayangkan tangisan yang keluar dari tenggorokan,
Ratapan naik ke awan, jeritan menjalar ke seluruh kepulauan,
Mencekam sebuah bangsa keseluruhan?

Melalui diksi-diksi yang membangkitkan imaji, Taufiq telah menghadirkan kita ke sebuah tempat dalam sebuah suasana untuk turut menyaksikan dan merasakan bagaimana dahsyatnya tsunami yang melanda saudara kita di berbagai penjuru negeri. Inilah empati lintas kultural yang mampu menggelitik rasa kebersamaan seluruh anak bangsa (Indonesia) dan siapa pun yang membacanya. Klausa dapatkah kita bayangkan tidak hanya ditujukan kepada bangsa Indonesia, tetapi kepada semua anak manusia. Lebih jauh Taufiq yang memilih kata kita sebagai subjek aktif, menulis.

Kita saksikan udara Aceh penuh mendung abu-abu warnanya
Kita saksikan burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari
Kita saksikan puluhan mayat, ratusan mayat, ribuan mayat
Kita saksikan puing, lumpur, potongan kayu, besi, bangkai kendaraan

Terasa sekali, seakan Taufiq Ismail, bersama ribuan orang, sedang berdiri di pesisir Aceh: di Kajhu, Ulee Lheue, Lhoknya, Calang, dan Sigli. Mereka menyaksikan dengan matahati sembari berteriak lirih mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk merasa-kan apa yang dialami korban tsunami. Di samping itu, Taufiq yang telah 'menjadikan diri' sebagai pengungsi yang kehilangan segalanya menulis.
Semoga setiap botol air bersih sampai ke tenggorokan yang kehausan
Semoga setiap bungkus biscuit sampai ke mulut bayi yang kelaparan
Semoga setiap butir tablet sampai ke tubuh yang perlu disembuhkan
Semoga setiap kursi roda yang akan menyangga cacatnya badan
Semoga setiap rupiah dari jumlah yang milyarnya ratusan
Benar-benar sampai kepada korban bencana yang memerlukan
Jangan lagi ada penyelewengan bantuan
Jangan lagi ada birokrasi yang jadi halangan
Jangan lagi kita bergerak lamban

Penyair religius ini -yang sangat memahami keadaan negerinya Indonesia, negeri yang sering 'memperkosa' bantuan kemanusiaan, yang sering habis di jalan- benar-benar berharap agar derita pengungsi Aceh jangan dimanfaatkan orang lain untuk bersenang-senang. Dalam hal ini, ia mengajak pekerja kemanusiaan berempati.
Lalu, bagaimana dengan W.S. Rendra, Si Burung Merak? Ternyata ia juga menulis sebuah puisi yang sangat menyentuh, mengenai seorang gadis Aceh, Di Mana Kamu De'Na. Saya kutip sebait puisi tersebut.

Di mana kamu De'Na?
Ketika tsunami melanda rumahmu
apakah kamu lagi bersenam pagi
dan ibumu yang janda
lagi membersihkan kamar mandi?

Dalam bait tersebut, secara imajinatif, Rendra seakan hadir di rumah De'Na, di Banda Aceh. Ia seakan berada dekat De'Na sambil memerhatikannya bersenam pagi dan juga menyaksikan ibunya yang sedang membersihkan kamar mandi. Biasanya, ketika menulis puisi imajinatif, imaji penyair benar-benar hadir pada sebuah tempat, sebuah situasi, sebuah suasana. Begitulah, dalam puisi ini Rendra ikut merasakan apa yang dirasakan subjek yang diamati, bahkan ia telah pula menjadi subjek itu, menjadi De'Na. Empati Rendra juga tampak dalam bait berikut.

De'Na
Apakah kamu sekarang lagi tersenyum
Membaca sajakku semacam ini?

Tidak kalah menariknya adalah empati yang diperlihatkan penyair Aceh. Hampir seluruh puisi mereka mencatat fakta empiris itu dengan mata batin yang tajam, sebagian besar memandangnya positif; dengan jiwa yang tabah, pasrah, dan optimis. Dalam kesempatan ini hanya diturunkan sebuah puisi karya Wiratmadinata. Empati Wira sungguh luar biasa, terkandung dalam hampir seluruh larik puisinya.

BETAPA MALUNYA AKU MENULIS PUISI
(untuk saudaraku di tanah kelahiran: Aceh)

Betapa malunya aku menulis bait-bait puisi ini
Karena cintaku tak akan bisa mengatasi lukamu
Bahkan beribu bait puisi yang paling indah pun
Tak akan sebanding dengan seiris duka-deritamu.
Apalah artinya syair dari seorang penyair
Bagi hidup yang engkau lewati dengan getir
Sedang engkau di sana berdiri dengan tegar
Saat laut sedang membadai dan bumi bergetar
....
Betapa malunya aku menulis syair sederhana ini
Karena cintaku tak akan bisa mengatasi perihmu saudara
Bahkan berjuta baris puisi dan nyanyian terindah pun
Tak akan sanggup menandingi kekuatan batinmu

Tapi izinkan aku ikut menangis bersama nyerimu
Izinkan aku memelukmu dalam cinta yang lugu
Katakan padaku apa yang tersimpan dalam tangismu
Karena engkau jauh lebih mengerti arti semua ini
5 Januari 2004

3. CATATAN PENUTUP

Ribuan puisi yang lahir karena diinspirasi tsunami Aceh menunjukkan bahwa karya sastra sering berpijak kepada fakta empiris. Fakta itu menjadi pokok, yang kemudian diolah dengan mata batin penyair dari berbagai sisi. Karena itu, puisi tidak hanya berlaku sebagai dulce (sisi indah), tetapi juga utile (sisi kegunaan); keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Demikian pulalah halnya puisi-puisi yang terkandung dalam antologi Ziarah Ombak memberikan manfaat yang baik dan indah bagi seluruh umat manusia.

Bagi penyair yang optimis, tsunami dipandang sebagai langkah awal menuju Aceh baru, Aceh yang damai dalam bingkai cinta Sang Khalik dan seluruh lat batat kayèe batèe (alam dan seluruh isinya). Tsunami juga melahirkan pencerahan, termasuk dalam dunia kepenyairan. Di Indonesia misalnya, seperti disitir Ahmadun Y. Herfanda, puisi-puisi tentang tsunami bahkan sempat menjadi fenomema sastra Indonesia mutakhir, sehingga Hamsad Rangkuti menggagas lahirnya 'Angkatan Tsunami' dalam sastra Indonesia. Kejadian ini pula telah memungkinkan berkumpulnya wanita penyair dalam kebersamaan (dalam Ziarah Ombak). Kehadiran 10 wanita penyair dalam antologi yang sama adalah hal yang menggembirakan. Mereka adalah Siti Zainon Ismail, Rosni Idham, D. Keumalawati, Wina SW1, Rianda, Rita Dahlia, Jingga Gemilang, Faridah Roni, Dhe'na Mahdalena, dan Armiati.


Mengingat Aceh sudah cukup lama menderita akibat konflik, disusul tsunami, kita berharap akan ada damai yang abadi di Aceh. Dan demi kemanusiaan serta perdamaian itu pula, semua orang harus berpikir sehat dan 'membawa' hati yang 'bersih', tidak munafik, seperti disuarakan A. Salam, penyair Singapura (dalam Edwin Thumboo, et all. Anthology of ASEAN Literature, 1985) dalam Kemanusiaan:

Ketika berbicara tentang kemanusiaan
pasti meminta akan segala kejujuran
dari setiap detik syahdu hati
yang merah bagai bebara api
mengharap segala kepastian
....

Tapi jangan hanya suka bercanda
bermain dengan warna kata-kata
sedang di depan mata terus
bersua warna hitam di peta
...
Namun kata-kata terus bicara
tentang kemanusiaan demi kemanusiaan...

Dan hari-hari ini adalah hari-hari di mana putra-putri Aceh sudah dapat kembali tersenyum bebas; senyum yang sempurna. Orang-orang tidak lagi mempermainkan senapan dan kiranya Yang Maha Penjaga merahmati semua manusia dalam kasih-Nya.

Referensi

A. Mangunharjana. 1997. Isme-Isme dalam Etika dari A Sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.
D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa (eds.). 2005. Antologi Puisi Ziarah Ombak. Banda Aceh: Lapena.
Edwin Thumboo, et all (eds.). 1985. Anthology of ASEAN Literature. The Poetry of Singapura. Singapura: Published Under Sponsorship the ASEAN Committe on Culture dan Information.
Kompas. 2005. Pascabencana Tingkatkan Pelayanan Kesehatan Jiwa. 5/9/2005/p.13.
Lorens Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Mohd. Harun al Rasyid. 2005. Lagu Pilu Orang Kuyu. Banda Aceh: Lapena.
A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori. Jakarta: Pustaka Jaya.

Malang, Jawa Timur, 8 September 2005